medcom.id, Jakarta: Pakar Hukum Jimly Asshiddiqie meminta pemerintah menyikapi secara bijak keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut 14 pasal dalam Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 tentang Taksi Online. Uji publik masih bisa dilakukan untuk memperbaiki beleid itu.
Jimly mengatakan perintah MA untuk mencabut 14 pasal adalah perintah yang tak mengikat paksa. Perintah itu, kata dia, berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kemenhub, kata Jimly, diperbolehkan menggunakan payung hukum tersebut hingga hadir aturan pengganti.
"Keputusan negara harus dihormati semua pihak. Nah, pada praktiknya, perintah (pencabutan aturan) itu bisa lama bisa sebentar. Bisa cepatm bisa juga lambat dilaksanakan (regulator)," kata Jimly saat dihubungi Metrotvnews.com, Jumat 25 Agustus 2017.
Meski dimungkinkan, Jimly menyarankan sebaiknya Kemenhub tak menunda untuk membuat regulasi baru. Apalagi jika beleid itu penting untuk mengatur taksi online.
Menunda putusan MA, kata dia, justru merupakan contoh yang kurang baik. Apalagi sebelumnya sudah ada contoh peraturan pemerintah yang tetap dipakai walaupun sudah tiga tahun diminta dicabut.
"Saat itu pemerintah beralasan tak punya alternatif dan membandel. Itu contoh yang bukan ideal," ujar mantan Hakim MK ini tanpa menyebutkan spesifik peraturannya.
Jika menganggap putusan MA keliru, Jimly menyarankan pemerintah melakukan uji publik atau proses ekseminasi. Keberatan publik bisa disampaikan dan nantinya dituangkan dalam aturan yang baru.
"Tapi, tetap keputusan MA harus dihormati. Namun, ketika sudah ada aturan baru, pemerintah bisa mencantumkan keberatan publik dari hasil uji publik tadi," katanya.
Baca: Kemenhub: Jangan Euforia dulu dengan Keputusan MA
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengaku kaget atas keputusan MA. Dia mengatakan, pada dasarnya pemerintah hanya ingin mengayomi. Menurut dia, Kemenhub ingin menerapkan konsep memberi kemaslahatan kepada semua pihak dan menjunjung kesetaraan antara taksi daring dan konvensional.
"(Permenhub taksi online) tidak akan langsung dicabut karena memang secara hukum acara masih memiliki waktu tiga bulan untuk pasal ini tetap berlaku. Ini tentu akan mengurangi keresahan masyarakat," kata Budi, dalam Metro Pagi Primetime, Kamis 24 Agustus 2017.
Saat ini, kata Budi, Kemenhub akan berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk mencari penjelasan bagaimana jika ketentuan ini tetap berlaku atau sebaliknya.
Baca: Putusan MA Bikin Biaya Taksi Online Kembali Murah
Pihaknya juga akan duduk bersama dengan Organda, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), stakeholder taksi daring, hingga ahli hukum untuk merumuskan formula baru terkait aturan ini.
"Kita akan mencari (cara) dan akan sangat hati-hati memberlakukan satu ketentuan, apalagi yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat," jelasnya.
Hakim MA mengabulkan gugatan pengemudi online atas Permenhub 26/2017. Dalam putusan bernomor 37 P/HUM/2017, MA menyatakan angkutan sewa khusus berbasis aplikasi online adalah konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi. Apalagi moda transportasi online juga menawarkan pelayanan yang baik, jaminan keamanan memadai, harga yang murah, dan tepat waktu.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/0kpJadWN" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Pakar Hukum Jimly Asshiddiqie meminta pemerintah menyikapi secara bijak keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut 14 pasal dalam Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 tentang Taksi
Online. Uji publik masih bisa dilakukan untuk memperbaiki beleid itu.
Jimly mengatakan perintah MA untuk mencabut 14 pasal adalah perintah yang tak mengikat paksa. Perintah itu, kata dia, berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kemenhub, kata Jimly, diperbolehkan menggunakan payung hukum tersebut hingga hadir aturan pengganti.
"Keputusan negara harus dihormati semua pihak. Nah, pada praktiknya, perintah (pencabutan aturan) itu bisa lama bisa sebentar. Bisa cepatm bisa juga lambat dilaksanakan (regulator)," kata Jimly saat dihubungi
Metrotvnews.com, Jumat 25 Agustus 2017.
Meski dimungkinkan, Jimly menyarankan sebaiknya Kemenhub tak menunda untuk membuat regulasi baru. Apalagi jika beleid itu penting untuk mengatur taksi
online.
Menunda putusan MA, kata dia, justru merupakan contoh yang kurang baik. Apalagi sebelumnya sudah ada contoh peraturan pemerintah yang tetap dipakai walaupun sudah tiga tahun diminta dicabut.
"Saat itu pemerintah beralasan tak punya alternatif dan membandel. Itu contoh yang bukan ideal," ujar mantan Hakim MK ini tanpa menyebutkan spesifik peraturannya.
Jika menganggap putusan MA keliru, Jimly menyarankan pemerintah melakukan uji publik atau proses ekseminasi. Keberatan publik bisa disampaikan dan nantinya dituangkan dalam aturan yang baru.
"Tapi, tetap keputusan MA harus dihormati. Namun, ketika sudah ada aturan baru, pemerintah bisa mencantumkan keberatan publik dari hasil uji publik tadi," katanya.
Baca: Kemenhub: Jangan Euforia dulu dengan Keputusan MA
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengaku kaget atas keputusan MA. Dia mengatakan, pada dasarnya pemerintah hanya ingin mengayomi. Menurut dia, Kemenhub ingin menerapkan konsep memberi kemaslahatan kepada semua pihak dan menjunjung kesetaraan antara taksi daring dan konvensional.
"(Permenhub taksi
online) tidak akan langsung dicabut karena memang secara hukum acara masih memiliki waktu tiga bulan untuk pasal ini tetap berlaku. Ini tentu akan mengurangi keresahan masyarakat," kata Budi, dalam Metro Pagi Primetime, Kamis 24 Agustus 2017.
Saat ini, kata Budi, Kemenhub akan berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk mencari penjelasan bagaimana jika ketentuan ini tetap berlaku atau sebaliknya.
Baca: Putusan MA Bikin Biaya Taksi Online Kembali Murah
Pihaknya juga akan duduk bersama dengan Organda, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), stakeholder taksi daring, hingga ahli hukum untuk merumuskan formula baru terkait aturan ini.
"Kita akan mencari (cara) dan akan sangat hati-hati memberlakukan satu ketentuan, apalagi yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat," jelasnya.
Hakim MA mengabulkan gugatan pengemudi
online atas Permenhub 26/2017. Dalam putusan bernomor 37 P/HUM/2017, MA menyatakan angkutan sewa khusus berbasis aplikasi
online adalah konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi. Apalagi moda transportasi
online juga menawarkan pelayanan yang baik, jaminan keamanan memadai, harga yang murah, dan tepat waktu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)