Jakarta: Seleksi jilid dua calon hakim ad hoc agung hak asasi manusia (HAM) masih mandek. Sebab, Mahkamah Agung (MA) belum mengirimkan surat permintaan seleksi hakim ad hoc kepada Komisi Yudisial (KY).
Seleksi perlu dilakukan imbas DPR hanya menyetujui tiga calon hakim agung dari 8 calon yang diajukan KY setelah melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan. Tanpa tedeng aling-aling, DPR bahkan tidak menyetujui satu pun calon dari tiga calon hakim ad hoc HAM.
Juru bicara KY, Miko Ginting, mengatakan KY belum mendapatkan lampu hijau dari MA untuk segera menyeleksi calon hakim ad hoc. Miko menyebut masalahnya bukan hanya soal waktu seleksi, tetapi perihal mencari calon potensial yang mau mendaftar menjadi hakim ad hoc.
Minimnya calon potensial mendaftar karena perkara yang ditangani baru satu. Yakni, perkara Paniai, yang hanya satu berkas perkara.
“Sementara di sisi lain, masa tugas hakim ad hoc di MA bersifat periodik, untuk masa waktu tertentu. Selama masa jabatan itu, hakim ad hoc di MA tidak diperbolehkan untuk menjalankan pekerjaan lain,” tutur Miko kepada Media Indonesia, Selasa, 4 April 2023.
Sementara itu, juru bicara MA, Suharto menegaskan pihaknya segera mengajukan surat ke KY untuk melakukan rekrutmen calon hakim agung maupun hakim ad hoc HAM. “Karena berkas kasasi perkara HAM telah masuk ke MA namun hakim ad hoc HAM-nya belum ada,” ujar Suharto.
Seleksi Hakim Agung Tak Optimal
Dalam kesempatan berbeda, anggota divisi pemantauan impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina Rumpia, memandang tidak diloloskannya seluruh calon hakim ad hoc HAM oleh DPR merupakan langkah positif. Jane menilai dari awal proses seleksi hakim agung berlangsung tidak optimal.
“Jumlah calon hakim ad hoc yang diajukan KY juga sangat sedikit dan memiliki kriteria yang cukup buruk dari segi pengetahuan, pengalaman, dan kepedulian terhadap gerakan HAM,” ucap Jane kepada Media Indonesia.
Jane mengakui tidak lolosnya tiga calon hakim ad hoc HAM pada fit and proper test di DPR berkonsekuensi dengan harus diulangnya proses seleksi oleh MA dan KY. Belum lagi persoalan minimnya calon pendaftar yang berkualitas dan berkompeten menjadi salah satu problem besar sejak awal proses seleksi calon hakim ad hoc HAM.
“Melihat kondisi tersebut ini tentu bisa dijadikan sebagai ruang dan kesempatan bagi Indonesia untuk mendapatkan hakim ad hoc HAM yang lebih memiliki kompetensi dan kualitas mumpuni untuk mengemban tugas sebagai penjaga kesatuan hukum di tingkat kasasi,” tegas dia.
Syarat Batas Usia Jadi Penghalang
KontraS menyebut seluruh pihak perlu menjadikan proses seleksi ulang ini sebagai momentum perbaikan dari proses seleksi yang telah berlangsung sebelumnya. Jane juga mengkritisi syarat untuk menjadi hakim ad hoc pengadilan HAM yang disusun KY memuat batas usia minimal 50 tahun.
Menurut dia, persyaratan umur minimal ini menjadi penghalang bagi warga yang ingin terlibat tapi belum berusia 50 tahun. Secara formil, tentu panitia seleksi bisa menggunakan alibi merujuk UU Nomor 26 Tahun 2000. Namun, diskriminasi dari segi umur memang menjadi tembok tebal situasi ini.
“PR nya saat ini, kita perlu secara bersama-sama mendorong seluruh aktivis, akademisi, dan para praktisi yang memiliki kualitas pengetahuan dan kompetensi yang mumpuni terkait perkara pelanggaran HAM berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan, untuk mendaftar dalam proses seleksi ulang calon hakim ad hoc HAM tingkat kasasi nantinya,” jelas dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Jakarta: Seleksi jilid dua calon
hakim ad hoc agung hak asasi manusia (HAM) masih mandek. Sebab,
Mahkamah Agung (MA) belum mengirimkan surat permintaan seleksi hakim ad hoc kepada Komisi Yudisial (
KY).
Seleksi perlu dilakukan imbas DPR hanya menyetujui tiga calon hakim agung dari 8 calon yang diajukan KY setelah melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan. Tanpa tedeng aling-aling, DPR bahkan tidak menyetujui satu pun calon dari tiga calon hakim ad hoc HAM.
Juru bicara KY, Miko Ginting, mengatakan KY belum mendapatkan lampu hijau dari MA untuk segera menyeleksi calon hakim ad hoc. Miko menyebut masalahnya bukan hanya soal waktu seleksi, tetapi perihal mencari calon potensial yang mau mendaftar menjadi hakim ad hoc.
Minimnya calon potensial mendaftar karena perkara yang ditangani baru satu. Yakni, perkara Paniai, yang hanya satu berkas perkara.
“Sementara di sisi lain, masa tugas hakim ad hoc di MA bersifat periodik, untuk masa waktu tertentu. Selama masa jabatan itu, hakim ad hoc di MA tidak diperbolehkan untuk menjalankan pekerjaan lain,” tutur Miko kepada
Media Indonesia, Selasa, 4 April 2023.
Sementara itu, juru bicara MA, Suharto menegaskan pihaknya segera mengajukan surat ke KY untuk melakukan rekrutmen calon hakim agung maupun hakim ad hoc HAM. “Karena berkas kasasi perkara HAM telah masuk ke MA namun hakim ad hoc HAM-nya belum ada,” ujar Suharto.
Seleksi Hakim Agung Tak Optimal
Dalam kesempatan berbeda, anggota divisi pemantauan impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina Rumpia, memandang tidak diloloskannya seluruh calon hakim ad hoc HAM oleh DPR merupakan langkah positif. Jane menilai dari awal proses seleksi hakim agung berlangsung tidak optimal.
“Jumlah calon hakim ad hoc yang diajukan KY juga sangat sedikit dan memiliki kriteria yang cukup buruk dari segi pengetahuan, pengalaman, dan kepedulian terhadap gerakan HAM,” ucap Jane kepada
Media Indonesia.
Jane mengakui tidak lolosnya tiga calon hakim ad hoc HAM pada
fit and proper test di DPR berkonsekuensi dengan harus diulangnya proses seleksi oleh MA dan KY. Belum lagi persoalan minimnya calon pendaftar yang berkualitas dan berkompeten menjadi salah satu problem besar sejak awal proses seleksi calon hakim ad hoc HAM.
“Melihat kondisi tersebut ini tentu bisa dijadikan sebagai ruang dan kesempatan bagi Indonesia untuk mendapatkan hakim ad hoc HAM yang lebih memiliki kompetensi dan kualitas mumpuni untuk mengemban tugas sebagai penjaga kesatuan hukum di tingkat kasasi,” tegas dia.
Syarat Batas Usia Jadi Penghalang
KontraS menyebut seluruh pihak perlu menjadikan proses seleksi ulang ini sebagai momentum perbaikan dari proses seleksi yang telah berlangsung sebelumnya. Jane juga mengkritisi syarat untuk menjadi hakim ad hoc pengadilan HAM yang disusun KY memuat batas usia minimal 50 tahun.
Menurut dia, persyaratan umur minimal ini menjadi penghalang bagi warga yang ingin terlibat tapi belum berusia 50 tahun. Secara formil, tentu panitia seleksi bisa menggunakan alibi merujuk UU Nomor 26 Tahun 2000. Namun, diskriminasi dari segi umur memang menjadi tembok tebal situasi ini.
“PR nya saat ini, kita perlu secara bersama-sama mendorong seluruh aktivis, akademisi, dan para praktisi yang memiliki kualitas pengetahuan dan kompetensi yang mumpuni terkait perkara pelanggaran HAM berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan, untuk mendaftar dalam proses seleksi ulang calon hakim ad hoc HAM tingkat kasasi nantinya,” jelas dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)