medcom.id, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) sebagai tersangka. Dia terjerat kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Tersangka SAT selaku Ketua BPPN, diduga telah menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau korporasi," kata Komisioner KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 25 April 2017.
Dia dianggap bertanggung jawab dalam mengeluarkan SKL BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim. Sebagai salah satu obligor, BDNI memiliki kewajiban sebesar Rp4,8 triliun. SKL dikeluarkan walau hasil restrukturisasi aset BDNI hanya sekitar Rp1,1 triliun.
"Atas penerbitan SKL, diduga merugikan keuangan negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun," kata Basaria.
BDNI merupakan salah satu yang mendapat pinjaman likuiditas senilai Rp27,4 triliun dari dana BLBI. Surat lunas untuk BDNI diserahkan setelah menyerahkan aset yang diantaranya PT Dipasena (laku Rp2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun).
Baca: KPK Segera Putar Episode Baru Kasus BLBI
Atas perbuatannya itu mereka disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK telah menyelidiki penerbitan SKL untuk sejumlah penerima BLBI. BLBI digelontorkan untuk 48 bank yang likuiditasnya tergangg pasca krisis ekonomi 1998.
Bank Indonesia kemudian memberikan pinjaman yang nilainya mencapai Rp147,7 triliun. Namun berdasarkan audit BPK, ada penyimpangan sebesar Rp138,4 triliun dari BLBI.
SKL BLBI sendiri dikeluarkan BPPN di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. SKL ini dikeluarkan karena banyak obligator yang menunggak pinjaman terjerat hukum.
SKL dikeluarkan dengan berdasarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. SKL tersebut dipakai Kejaksaan Agung untuk SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan/ SP3) terhadap sejumlah obligator bermasalah.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/RkjPp2wN" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) sebagai tersangka. Dia terjerat kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Tersangka SAT selaku Ketua BPPN, diduga telah menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau korporasi," kata Komisioner KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 25 April 2017.
Dia dianggap bertanggung jawab dalam mengeluarkan SKL BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim. Sebagai salah satu obligor, BDNI memiliki kewajiban sebesar Rp4,8 triliun. SKL dikeluarkan walau hasil restrukturisasi aset BDNI hanya sekitar Rp1,1 triliun.
"Atas penerbitan SKL, diduga merugikan keuangan negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun," kata Basaria.
BDNI merupakan salah satu yang mendapat pinjaman likuiditas senilai Rp27,4 triliun dari dana BLBI. Surat lunas untuk BDNI diserahkan setelah menyerahkan aset yang diantaranya PT Dipasena (laku Rp2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun).
Baca: KPK Segera Putar Episode Baru Kasus BLBI
Atas perbuatannya itu mereka disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK telah menyelidiki penerbitan SKL untuk sejumlah penerima BLBI. BLBI digelontorkan untuk 48 bank yang likuiditasnya tergangg pasca krisis ekonomi 1998.
Bank Indonesia kemudian memberikan pinjaman yang nilainya mencapai Rp147,7 triliun. Namun berdasarkan audit BPK, ada penyimpangan sebesar Rp138,4 triliun dari BLBI.
SKL BLBI sendiri dikeluarkan BPPN di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. SKL ini dikeluarkan karena banyak obligator yang menunggak pinjaman terjerat hukum.
SKL dikeluarkan dengan berdasarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. SKL tersebut dipakai Kejaksaan Agung untuk SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan/ SP3) terhadap sejumlah obligator bermasalah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)