Jakarta: Identitas oknum polisi yang melakukan kekerasan terhadap tersangka atau tahanan mesti diungkap ke publik. Pengungkapan itu untuk menimbulkan efek jera agar tidak bertindak berlebihan saat menangani perkara.
"Kalau ada pelanggaran yang melanggar etik, atau katakanlah pidana, maka kalau itu dilakukan oleh anggota Polri dibuka saja namanya," kata anggota Komisi III DPR Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 11 Februari 2021.
Arsul menyebut penanganan pelanggaran etik dan kasus kekerasan cenderung tertutup. Hal itu tidak hanya terjadi di Polri, tapi institusi lain.
Politikus Partai Persatuan (PPP) itu menyebut paradigma tersebut harus diubah. Instansi keamanan diminta tidak menutup-nutupi penanganan kasus yang melibatkan anggota mereka.
(Baca: 6 Polisi Penganiaya Tahanan di Kaltim Diberi Sanksi Pidana dan Etik)
"Justru penegak hukum melakukan pelanggaran-pelanggaran maka coverage (pemberitaan) di media massa dibuka lebih lebar," tutur dia.
Arsul juga meminta Polri membuat data khusus terkait anggota yang melakukan kekerasan. Selanjutnya, anggota tersebut harus diawasi.
"Kita juga meminta Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) memperhatikan hal-hal seperti ini (memantau kekerasan petugas kepolisian)," ujar dia.
Pendekatan kekerasan oleh kepolisian saat menjalankan tugas mendapat perhatian khusus beberapa waktu ini. Dua orang meregang nyawa saat menjalani proses hukum di kepolisian.
Kejadian pertama, Deki, buronan kasus dugaan perjudian di Solok Selatan, Sumatra Barat (Sumbar). Deki ditembak aparat kepolisian di depan keluarganya.
Kekerasan serupa juga dialami oleh Herman. Tahanan Polresta Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), itu tewas saat menjalani penyelidikan terkait kasus dugaan pencurian telepon genggam.
Jakarta: Identitas oknum polisi yang melakukan
kekerasan terhadap tersangka atau tahanan mesti diungkap ke publik. Pengungkapan itu untuk menimbulkan efek jera agar tidak bertindak berlebihan saat menangani perkara.
"Kalau ada pelanggaran yang melanggar etik, atau katakanlah pidana, maka kalau itu dilakukan oleh anggota Polri dibuka saja namanya," kata anggota Komisi III DPR Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 11 Februari 2021.
Arsul menyebut penanganan pelanggaran etik dan kasus kekerasan cenderung tertutup. Hal itu tidak hanya terjadi di
Polri, tapi institusi lain.
Politikus Partai Persatuan (PPP) itu menyebut paradigma tersebut harus diubah. Instansi keamanan diminta tidak menutup-nutupi penanganan kasus yang melibatkan anggota mereka.
(Baca:
6 Polisi Penganiaya Tahanan di Kaltim Diberi Sanksi Pidana dan Etik)
"Justru penegak hukum melakukan pelanggaran-pelanggaran maka
coverage (pemberitaan) di media massa dibuka lebih lebar," tutur dia.
Arsul juga meminta Polri membuat data khusus terkait anggota yang melakukan kekerasan. Selanjutnya, anggota tersebut harus diawasi.
"Kita juga meminta Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) memperhatikan hal-hal seperti ini (memantau kekerasan petugas kepolisian)," ujar dia.
Pendekatan kekerasan oleh kepolisian saat menjalankan tugas mendapat perhatian khusus beberapa waktu ini. Dua orang meregang nyawa saat menjalani proses hukum di kepolisian.
Kejadian pertama, Deki, buronan kasus dugaan perjudian di Solok Selatan, Sumatra Barat (Sumbar). Deki ditembak aparat kepolisian di depan keluarganya.
Kekerasan serupa juga dialami oleh Herman. Tahanan Polresta Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), itu tewas saat menjalani penyelidikan terkait kasus dugaan pencurian telepon genggam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)