Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang gugatan batas usia pencalonan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan oleh Komisioner Lembaga Antirasuah Nurul Ghufron. Sidang beragendakan mendengarkan penjelasan ahli dari kubu pemohon.
Ahli Emanuel Sujatmoko menyebut adanya kesalahan dalam batas usia minimal 50 tahun dalam Pasal 29 huruf E dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK (UU KPK). Menurutnya, beleid itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengizinkan pimpinan Lembaga Antirasuah mencalonkan lagi untuk sekali masa jabatan setelahnya.
"Beranjak dari analisis tersebut di atas, batas usia paling rendah 50 tahun sebagaimana dimaksud Pasal 29 huruf E Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tersebut semestinya dimaknai sepanjang belum pernah menjabat sebagai pimpinan KPK," kata Emanuel dalam persidangan MK yang digelar hybrid pada Senin, 13 Maret 2023.
Emanuel mengatakan Ghufron belum genap 50 tahun jika ingin mencalonkan diri lagi sebagai pimpinan KPK berikutnya jika mengacu pada Pasal 29 huruf E Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Namun, aturan itu seharusnya tidak berlaku karena sudah pernah memimpin Lembaga Antirasuah sekali.
"Dalam hal ketentuan Pasal 29 huruf E UU Nomor 19 Tahun 2019 tersebut diterapkan untuk KPK yang diangkat berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan masa jabatannya telah berakhir dan selanjutnya mengikuti seleksi atau diangkat kembali untuk masa jabatan kedua maka sesuai ketentuan Pasal 29 huruf E UU Nomor 19 Tahun 2019 tidak dapat dilakukan, artinya UU ini menurut saya tidak dapat diterapkan pasal tersebut," ucap Emanuel.
Dia menyebutkan Pasal 29 huruf E dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah bertentangan dengan kepastian hukum yang bersifat materil. Itu, lanjutnya, berhubungan erat dengan asas kepercayaan dan pengharapan yang layak.
Dia juga menyebut semua orang berhak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil berdasarkan Pasal 28 huruf D ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Diksi pengakuan di beleid itu dikaitkan dengan pengakuan akan kemampuan seseorang yang telah diangkat sesuai dengan peraturan yang diubah.
"Hal tersebut mengingat bahwa sosok orang tersebut telah diangkat memangku jabatan sebagai pimpinan KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002, tentu juga dianggap telah mampu, cakap dan dapat melaksanakan kewenangan atau hak sebagai pimpinan KPK," ujar Imanuel.
Konteks kecakapan Ghufron disamakan dengan penerapan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata). Beleid itu menyebutkan usia dewasa yang merupakan 21 tahun dan bisa menikah.
"Bila perkawinan bubar sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Artinya di sini menegaskan orang yang sudah dewasa, dianggap dewasa, terus dewasa," kata Imanuel.
Karenanya, dia menilai Ghufron berhak kembali mencalonkan diri sebagai pemimpin KPK. Kurangnya batas usianya di tahun ini tidak membatalkan hak kembali memimpin dalam satu jabatan karena sudah pernah menjadi komisioner.
"Hal tersebut mengingat bahwa asas persamaan hanya dapat diterapkan dalam keadaan dan kedudukan yang sama dalam hal terdapat perbedaan tidak dapat diterapkan asas persamaan," terang Emanuel.
Masa Jabatan Dinilai Terlalu Singkat
Emanuel juga menjelaskan soal masa jabatan pimpinan KPK dalam persidangan tersebut. Menurutnya, waktu memimpin di Lembaga Antirasuah yakni empat tahun kependekan.
Idealnya, pimpinan KPK menjabat selama lima tahun seperti instansi lain. Waktu memimpin di Lembaga Antirasuah dinilai bertentangan dengan cita hukum.
"Masa jabatan pimpinan KPK tersebut bertentangan dengan cita hukum berdasarkan pendapat Ibu Maria Farida di dalam Ilmu Perundang-Undangan di sana 'cita' itu dikatakan gagasan, rasa atau cipta artinya gagasan hukum," kata Emanuel.
Dia menyebut pimpinan yang instansinya dibentuk dari UUD 1945 ataupun mandat undang-undang wajib menjabat selama lima tahun. Waktu itu ideal dengan konsep lima tahun kepemimpinan Indonesia.
"Artinya, setiap lima tahun sekali dilakukan pemilihan pemimpin di Indonesia, mengingat hal tersebut ketentuan Pasal 34 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur masa jabatan KPK 4 tahun bertentangan dengan cita hukum pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1946," ucap Emanuel.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang gugatan batas usia pencalonan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) yang diajukan oleh Komisioner Lembaga Antirasuah Nurul Ghufron. Sidang beragendakan mendengarkan penjelasan ahli dari kubu pemohon.
Ahli Emanuel Sujatmoko menyebut adanya kesalahan dalam batas usia minimal 50 tahun dalam Pasal 29 huruf E dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK (
UU KPK). Menurutnya, beleid itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengizinkan pimpinan Lembaga Antirasuah mencalonkan lagi untuk sekali masa jabatan setelahnya.
"Beranjak dari analisis tersebut di atas, batas usia paling rendah 50 tahun sebagaimana dimaksud Pasal 29 huruf E Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tersebut semestinya dimaknai sepanjang belum pernah menjabat sebagai pimpinan KPK," kata Emanuel dalam persidangan MK yang digelar hybrid pada Senin, 13 Maret 2023.
Emanuel mengatakan Ghufron belum genap 50 tahun jika ingin mencalonkan diri lagi sebagai pimpinan KPK berikutnya jika mengacu pada Pasal 29 huruf E Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Namun, aturan itu seharusnya tidak berlaku karena sudah pernah memimpin Lembaga Antirasuah sekali.
"Dalam hal ketentuan Pasal 29 huruf E UU Nomor 19 Tahun 2019 tersebut diterapkan untuk KPK yang diangkat berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dan masa jabatannya telah berakhir dan selanjutnya mengikuti seleksi atau diangkat kembali untuk masa jabatan kedua maka sesuai ketentuan Pasal 29 huruf E UU Nomor 19 Tahun 2019 tidak dapat dilakukan, artinya UU ini menurut saya tidak dapat diterapkan pasal tersebut," ucap Emanuel.
Dia menyebutkan Pasal 29 huruf E dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah bertentangan dengan kepastian hukum yang bersifat materil. Itu, lanjutnya, berhubungan erat dengan asas kepercayaan dan pengharapan yang layak.
Dia juga menyebut semua orang berhak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil berdasarkan Pasal 28 huruf D ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Diksi pengakuan di beleid itu dikaitkan dengan pengakuan akan kemampuan seseorang yang telah diangkat sesuai dengan peraturan yang diubah.
"Hal tersebut mengingat bahwa sosok orang tersebut telah diangkat memangku jabatan sebagai pimpinan KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002, tentu juga dianggap telah mampu, cakap dan dapat melaksanakan kewenangan atau hak sebagai pimpinan KPK," ujar Imanuel.
Konteks kecakapan Ghufron disamakan dengan penerapan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata). Beleid itu menyebutkan usia dewasa yang merupakan 21 tahun dan bisa menikah.
"Bila perkawinan bubar sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Artinya di sini menegaskan orang yang sudah dewasa, dianggap dewasa, terus dewasa," kata Imanuel.
Karenanya, dia menilai Ghufron berhak kembali mencalonkan diri sebagai pemimpin KPK. Kurangnya batas usianya di tahun ini tidak membatalkan hak kembali memimpin dalam satu jabatan karena sudah pernah menjadi komisioner.
"Hal tersebut mengingat bahwa asas persamaan hanya dapat diterapkan dalam keadaan dan kedudukan yang sama dalam hal terdapat perbedaan tidak dapat diterapkan asas persamaan," terang Emanuel.
Masa Jabatan Dinilai Terlalu Singkat
Emanuel juga menjelaskan soal masa jabatan pimpinan KPK dalam persidangan tersebut. Menurutnya, waktu memimpin di Lembaga Antirasuah yakni empat tahun kependekan.
Idealnya, pimpinan
KPK menjabat selama lima tahun seperti instansi lain. Waktu memimpin di Lembaga Antirasuah dinilai bertentangan dengan cita hukum.
"Masa jabatan pimpinan KPK tersebut bertentangan dengan cita hukum berdasarkan pendapat Ibu Maria Farida di dalam Ilmu Perundang-Undangan di sana 'cita' itu dikatakan gagasan, rasa atau cipta artinya gagasan hukum," kata Emanuel.
Dia menyebut pimpinan yang instansinya dibentuk dari UUD 1945 ataupun mandat undang-undang wajib menjabat selama lima tahun. Waktu itu ideal dengan konsep lima tahun kepemimpinan Indonesia.
"Artinya, setiap lima tahun sekali dilakukan pemilihan pemimpin di Indonesia, mengingat hal tersebut ketentuan Pasal 34 UU Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur masa jabatan KPK 4 tahun bertentangan dengan cita hukum pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1946," ucap Emanuel.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)