Jakarta: Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menunda sidang pembacaan dakwaan Managing Director PT Rohde and Schwarz Indonesia Erwin Arief. Penundaan dilakukan karena Erwin dirawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC) Jakarta.
"Terdakwa belum bisa dihadirkan di persidangan karena kondisi emergency, terdakwa tiba-tiba harus dilakukan tindakan medis, dan tadi kami sudah melakukan pengecekan ke rumah sakit MMC Jakarta," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi Takdir Suhan di Pengadilan Tipikor, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 18 Juli 2019.
Jaksa Takdir mengatakan Erwin menderita penyempitan pembuluh darah. Atas kondisi tersebut, jaksa akan mengajukan surat pembantaran penahanan terhadap Erwin kepada majelis hakim.
"Kami memohon majelis, kami sudah memintai diagnosis mohon dijadikan pertimbangan untuk dilakukan pembantaran," ujar Takdir.
Mendengar hal itu, tim kuasa hukum meminta agar sidang ditunda hingga Senin, 29 Juli 2019. Namun, majelis hakim meminta agar persidangan ditunda selama seminggu.
"Kita coba tunda tanggal 25 Juli 2019 dulu ya. Bila tidak ada lagi yang perlu disampaikan, sidang ditutup," kata Ketua Majelis Hakim Frangki Tambuwun.
Baca: Hukuman Idrus Marham Diperberat
KPK menetapkan Managing Director PT Rohde and Schwarz Indonesia Erwin Arief sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Kasus ini merupakan pengembangan perkara yang lebih dulu menjerat Dirut PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah; Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi; dan mantan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Fayakhun Andriadi sebagai tersangka.
Erwin diduga membantu Fahmi menyuap Fayakhun terkait proses pembahasan dan pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Bakamla dalam APBN Perubahan Tahun 2016. Jumlah uang suap yang diterima Fayakhun dari Fahmi US$911.480 atau sekitar Rp12 miliar dalam empat tahap pemberian melalui rekening di Singapura dan Guangzhou, Tiongkok.
Erwin bertindak sebagai perantara Fahmi dan Fayakhun. Dia diduga mengirimkan rekening yang digunakan menerima suap dan mengirim bukti transfer dari Fahmi ke Fayakhun.
Uang suap diberikan kepada Fayakhun sebagai fee atas penambahan anggaran Bakamla pada APBN-P 2016 Rp1,5 triliun. Fayakhun berperan mengawal pengusulan APBN-P Bakamla disetujui DPR.
Erwin berkepentingan dalam suap untuk Fayakhun karena PT Rohde and Schwarz merupakan penyuplai Bakamla dalam pengadaan satelit monitoring. Dengan menetapkan Erwin sebagai tersangka, KPK telah menjerat tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang divonis bersalah. Eko Susilo Hadi dihukum 4 tahun 3 bulan pidana penjara dan denda Rp200 juta, Fahmi Darmawansyah dihukum 2 tahun 8 bulan pidana penjara dan denda Rp150 juta, Kabiro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan dihukum 4 tahun pidana penjara dan denda Rp200 juta.
Dua anak buah Fahmi, yakni M Adami Okta dan Hardy Stefanus dihukum masing-masing 1 tahun 6 bulan pidana penjara dan denda Rp100 juta. Sementara Fayakhun dihukum 8 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar serta hak politiknya dicabut selama 5 tahun setelah menjalani masa hukuman pokok.
Jakarta: Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menunda sidang pembacaan dakwaan Managing Director PT Rohde and Schwarz Indonesia Erwin Arief. Penundaan dilakukan karena Erwin dirawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC) Jakarta.
"Terdakwa belum bisa dihadirkan di persidangan karena kondisi emergency, terdakwa tiba-tiba harus dilakukan tindakan medis, dan tadi kami sudah melakukan pengecekan ke rumah sakit MMC Jakarta," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi Takdir Suhan di Pengadilan Tipikor, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 18 Juli 2019.
Jaksa Takdir mengatakan Erwin menderita penyempitan pembuluh darah. Atas kondisi tersebut, jaksa akan mengajukan surat pembantaran penahanan terhadap Erwin kepada majelis hakim.
"Kami memohon majelis, kami sudah memintai diagnosis mohon dijadikan pertimbangan untuk dilakukan pembantaran," ujar Takdir.
Mendengar hal itu, tim kuasa hukum meminta agar sidang ditunda hingga Senin, 29 Juli 2019. Namun, majelis hakim meminta agar persidangan ditunda selama seminggu.
"Kita coba tunda tanggal 25 Juli 2019 dulu ya. Bila tidak ada lagi yang perlu disampaikan, sidang ditutup," kata Ketua Majelis Hakim Frangki Tambuwun.
Baca: Hukuman Idrus Marham Diperberat
KPK menetapkan Managing Director PT Rohde and Schwarz Indonesia Erwin Arief sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Kasus ini merupakan pengembangan perkara yang lebih dulu menjerat Dirut PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah; Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla, Eko Susilo Hadi; dan mantan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Fayakhun Andriadi sebagai tersangka.
Erwin diduga membantu Fahmi menyuap Fayakhun terkait proses pembahasan dan pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Bakamla dalam APBN Perubahan Tahun 2016. Jumlah uang suap yang diterima Fayakhun dari Fahmi US$911.480 atau sekitar Rp12 miliar dalam empat tahap pemberian melalui rekening di Singapura dan Guangzhou, Tiongkok.
Erwin bertindak sebagai perantara Fahmi dan Fayakhun. Dia diduga mengirimkan rekening yang digunakan menerima suap dan mengirim bukti transfer dari Fahmi ke Fayakhun.
Uang suap diberikan kepada Fayakhun sebagai fee atas penambahan anggaran Bakamla pada APBN-P 2016 Rp1,5 triliun. Fayakhun berperan mengawal pengusulan APBN-P Bakamla disetujui DPR.
Erwin berkepentingan dalam suap untuk Fayakhun karena PT Rohde and Schwarz merupakan penyuplai Bakamla dalam pengadaan satelit monitoring. Dengan menetapkan Erwin sebagai tersangka, KPK telah menjerat tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang divonis bersalah. Eko Susilo Hadi dihukum 4 tahun 3 bulan pidana penjara dan denda Rp200 juta, Fahmi Darmawansyah dihukum 2 tahun 8 bulan pidana penjara dan denda Rp150 juta, Kabiro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan dihukum 4 tahun pidana penjara dan denda Rp200 juta.
Dua anak buah Fahmi, yakni M Adami Okta dan Hardy Stefanus dihukum masing-masing 1 tahun 6 bulan pidana penjara dan denda Rp100 juta. Sementara Fayakhun dihukum 8 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar serta hak politiknya dicabut selama 5 tahun setelah menjalani masa hukuman pokok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DRI)