medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konsitusi mengabulkan sebagian uji materi Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang teregistrasi dengan nomor perkara 20/PUU-XIV/2016. Putusan yang dikeluarkan MK ini dinilai mengugurkan status alat bukti rekaman percakapan yang dipegang Kejaksaan Agung.
Uji materi ini diajukan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Setya Novanto yang saat itu tersandung kasus 'Papa Minta Saham' karena beredarnya rekaman percakapan antara ia dan taipan minyak Riza Chalid. Novanto pun mengundurkan diri dari posisi DPR setelah melewati rangkaian sidang etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
Kasus Novanto ini kemudian diusut Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung telah berapa kali memanggil Novanto dan beberapa saksi lain, serta menjadikan rekaman percakapan itu sebagai bukti.
Kuasa hukum Setya Novanto di Mahkamah Konstitusi, Saifullah Hamid mengatakan, ada dua poin yang ditegaskan majelis hakim dalam pembacaan putusan ini.
"Merekam itu adalah tindak pidana, itu yang merekam dan dijadikan bukti kejaksaan itu adalah tindakan pidana," kata dia usai pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
Selain itu, kata Saifullah, majelis hakim menilai sebuah rekaman dapat dijadikan alat bukti jika dilakukan oleh penegak hukum dengan cara yang sesuai diatur dalam Undang-undang. Putusan ini memperjelas status alat bukti rekaman yang dipegang Kejaksaan Agung.
"Ini menunjukkan bahwa apa yang menjadi alat bukti rekaman di kejaksaan itu tak bisa menjadi alat bukti," kata dia.
Baca: MK Kabulkan Sebagian Uji Materi UU ITE oleh Setya Novanto
Majelis Hakim mengabulkan permohonan Novanto sebagian. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
Arief mengatakan, frasa 'informasi elektronik dan atau dokumen elektronik' dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) serta pasal 44 huruf b Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang infomrasi dan transaksi elektronik bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sepanjang tak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian atau peegak hukum lain berdasarkan Undang-undang sebagaimana ditentukan dalam pasal 31 ayat (3) dan UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Hakim Suhartoyo memiliki pendapat berbeda. Suhartoyo menilai tindakan penyadapan atau perekaman adalah tindakan melawan hukum karena melanggar privasi orang lain.
"Sehingga melanggar hak asasi manusia," kata Suhartoyo.
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dari ketentuan pasal UUD1945 a quo, kata Suhartoyo, penyadapan hanya boleh dilakukan berdasarkan Undang-undang.
Dalam konteks penegakkan hukum, kata dia, penyadapan seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi penggunaan penyadapan secara sewenang-wenang. Mahkamah Konstitusi pun pernah mengeluarkan putusan nomor 5/PPU-VIII/2010 yang menyatakan penyadapan sebagai bentuk pelanggaran hak privasi seseorang.
"UU ITE sebenarnya sudah mengatur secara rinci bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapat yang ditentukan dalam BAB VII perbuatan yang dilarang, khususnya pasal 31 ayat (1). Dari ketentuan pasal 31 ayat (1) tersebut maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan senagaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam pasal 46 ayat (1)," pungkas Suhartoyo.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konsitusi mengabulkan sebagian uji materi Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang teregistrasi dengan nomor perkara 20/PUU-XIV/2016. Putusan yang dikeluarkan MK ini dinilai mengugurkan status alat bukti rekaman percakapan yang dipegang Kejaksaan Agung.
Uji materi ini diajukan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Setya Novanto yang saat itu tersandung kasus 'Papa Minta Saham' karena beredarnya rekaman percakapan antara ia dan taipan minyak Riza Chalid. Novanto pun mengundurkan diri dari posisi DPR setelah melewati rangkaian sidang etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
Kasus Novanto ini kemudian diusut Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung telah berapa kali memanggil Novanto dan beberapa saksi lain, serta menjadikan rekaman percakapan itu sebagai bukti.
Kuasa hukum Setya Novanto di Mahkamah Konstitusi, Saifullah Hamid mengatakan, ada dua poin yang ditegaskan majelis hakim dalam pembacaan putusan ini.
"Merekam itu adalah tindak pidana, itu yang merekam dan dijadikan bukti kejaksaan itu adalah tindakan pidana," kata dia usai pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
Selain itu, kata Saifullah, majelis hakim menilai sebuah rekaman dapat dijadikan alat bukti jika dilakukan oleh penegak hukum dengan cara yang sesuai diatur dalam Undang-undang. Putusan ini memperjelas status alat bukti rekaman yang dipegang Kejaksaan Agung.
"Ini menunjukkan bahwa apa yang menjadi alat bukti rekaman di kejaksaan itu tak bisa menjadi alat bukti," kata dia.
Baca:
MK Kabulkan Sebagian Uji Materi UU ITE oleh Setya Novanto
Majelis Hakim mengabulkan permohonan Novanto sebagian. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
Arief mengatakan, frasa 'informasi elektronik dan atau dokumen elektronik' dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) serta pasal 44 huruf b Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang infomrasi dan transaksi elektronik bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sepanjang tak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian atau peegak hukum lain berdasarkan Undang-undang sebagaimana ditentukan dalam pasal 31 ayat (3) dan UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Hakim Suhartoyo memiliki pendapat berbeda. Suhartoyo menilai tindakan penyadapan atau perekaman adalah tindakan melawan hukum karena melanggar privasi orang lain.
"Sehingga melanggar hak asasi manusia," kata Suhartoyo.
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dari ketentuan pasal UUD1945 a quo, kata Suhartoyo, penyadapan hanya boleh dilakukan berdasarkan Undang-undang.
Dalam konteks penegakkan hukum, kata dia, penyadapan seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi penggunaan penyadapan secara sewenang-wenang. Mahkamah Konstitusi pun pernah mengeluarkan putusan nomor 5/PPU-VIII/2010 yang menyatakan penyadapan sebagai bentuk pelanggaran hak privasi seseorang.
"UU ITE sebenarnya sudah mengatur secara rinci bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapat yang ditentukan dalam BAB VII perbuatan yang dilarang, khususnya pasal 31 ayat (1). Dari ketentuan pasal 31 ayat (1) tersebut maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan senagaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam pasal 46 ayat (1)," pungkas Suhartoyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)