medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang diajukan oleh Setya Novanto. Dengan putusan ini, maka tiap penyadapan hanya boleh dilakukan untuk keperluan hukum dan seizin penegak hukum sesuai aturan yang berlaku.
Novanto mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang teregistrasi dengan nomor perkara 20/PUU-XIV/2016.
Novanto merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah.
Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK yang menyatakan alat bukti yang sah berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, dan disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau infomrasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.
Majelis Hakim mengabulkan sebagian permohonan Novanto. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
Arief mengatakan, frasa 'informasi elektronik dan atau dokumen elektronik' dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan UUD tahun 1945, sepanjang tak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian atau penegak hukum lain berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam putusan ini terdapat dua hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat pemohon tak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini.
Kata dia, pemohon merupakan perorangan yang memiliki status sebagai anggota DPR. Padahal, Mahkamah telah berkali-kali menyatakan pendirian seseorang dengan status anggota DPR tak memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon pengujian UU terhadap UUD 1945.
"Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah sebelumnya," kata Gede Palguna.
Mahkamah, kata dia, hanya menerima kedudukan hukum anggota DPR dalam pengujian UUD 1945 dalam hal yang sangat khusus. Sedangkan, materi norma UU yang dimohonkan penguji tak masuk dalam salah satu dari materi norma UU yang sangat khusus ini.
"Saya berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima," kata dia.
Tindakan Penyadapan Melawan Hukum
Hakim Konstitusi Suhartoyo memiliki pendapat yang berbeda. Suhartoyo menilai tindakan penyadapan atau perekaman adalah tindakan melawan hukum karena melanggar privasi orang lain.
"Sehingga melanggar hak asasi manusia," kata Suhartoyo.
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dari ketentuan Pasal UUD 1945 a quo, kata Suhartoyo, penyadapan hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang.
Dalam konteks penegakkan hukum, kata dia, penyadapan seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi penggunaan penyadapan secara sewenang-wenang. Mahkamah Konstitusi pun pernah mengeluarkan putusan Nomor 5/PPU-VIII/2010 yang menyatakan penyadapan sebagai bentuk pelanggaran hak privasi seseorang.
"UU ITE sebenarnya sudah mengatur secara rinci bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan yang ditentukan dalam BAB VII perbuatan yang dilarang, khususnya Pasal 31 ayat (1). Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) tersebut maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1)," kata Suhartoyo.
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang diajukan oleh Setya Novanto. Dengan putusan ini, maka tiap penyadapan hanya boleh dilakukan untuk keperluan hukum dan seizin penegak hukum sesuai aturan yang berlaku.
Novanto mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang teregistrasi dengan nomor perkara 20/PUU-XIV/2016.
Novanto merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah.
Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK yang menyatakan alat bukti yang sah berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, dan disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau infomrasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.
Majelis Hakim mengabulkan sebagian permohonan Novanto. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
Arief mengatakan, frasa 'informasi elektronik dan atau dokumen elektronik' dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan UUD tahun 1945, sepanjang tak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian atau penegak hukum lain berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam putusan ini terdapat dua hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat pemohon tak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini.
Kata dia, pemohon merupakan perorangan yang memiliki status sebagai anggota DPR. Padahal, Mahkamah telah berkali-kali menyatakan pendirian seseorang dengan status anggota DPR tak memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon pengujian UU terhadap UUD 1945.
"Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah sebelumnya," kata Gede Palguna.
Mahkamah, kata dia, hanya menerima kedudukan hukum anggota DPR dalam pengujian UUD 1945 dalam hal yang sangat khusus. Sedangkan, materi norma UU yang dimohonkan penguji tak masuk dalam salah satu dari materi norma UU yang sangat khusus ini.
"Saya berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima," kata dia.
Tindakan Penyadapan Melawan Hukum
Hakim Konstitusi Suhartoyo memiliki pendapat yang berbeda. Suhartoyo menilai tindakan penyadapan atau perekaman adalah tindakan melawan hukum karena melanggar privasi orang lain.
"Sehingga melanggar hak asasi manusia," kata Suhartoyo.
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dari ketentuan Pasal UUD 1945 a quo, kata Suhartoyo, penyadapan hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang.
Dalam konteks penegakkan hukum, kata dia, penyadapan seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi penggunaan penyadapan secara sewenang-wenang. Mahkamah Konstitusi pun pernah mengeluarkan putusan Nomor 5/PPU-VIII/2010 yang menyatakan penyadapan sebagai bentuk pelanggaran hak privasi seseorang.
"UU ITE sebenarnya sudah mengatur secara rinci bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan yang ditentukan dalam BAB VII perbuatan yang dilarang, khususnya Pasal 31 ayat (1). Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) tersebut maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1)," kata Suhartoyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(FZN)