medcom.id, Jakarta: Alasan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dinilai lemah. Proses serta substansi penerbitan Perppu Ormas pun menuai kritik.
"Dari segi prosedural, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi tiga prasyarat kondisi sebagaimana dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 38/PUU-VII/2009," kata Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting kepada Metrotvnews.com, Kamis, 12 Juli 2017.
Menurut dia, tiga prasyarat itu, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU. Ketiga prasyarat itu pun tidak terpenuhi dalam penerbitan Perppu Ormas.
"UU Ormas dengan jelas telah mengatur mekanisme penjatuhan sanksi, termasuk pembubaran, terhadap ormas yang asas maupun kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945," papar dia.
Dari segi susbtansial, kata dia, Perppu Ormas telah menghilangkan bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat di Indonesia, yaitu proses pembubaran organisasi melalui pengadilan. Pasal 61 Perppu Ormas memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan.
Sementara itu, proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil. Mekanisme ini juga mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan ormas.
"Perppu Ormas telah menempatkan posisi negara kembali berhadap-hadapan dengan organisasi masyarakat sipil, sama seperti yang terjadi pada masa Orde Baru." terang Miko.
Dia menjelaskan, pembubaran ormas tanpa melalui jalur pengadilan terakhir kali terjadi saat Pemerintah Orde Baru. Melalui UU Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Ormas, organisasi Pemuda Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) pada 1987 dibubarkan secara sepihak.
Miko menilai, ketentuan dalam Perppu Ormas memungkinkan penjatuhan sanksi pidana terhadap setiap orang yang menjadi pengurus atau anggota ormas apabila ormasnya melakukan pelanggaran. Ketentuan itu sangat problematik karena memungkinkan negara untuk menghukum orang bukan karena tindakan pidana yang dilakukan, melainkan karena status keanggotaan di dalam sebuah ormas.
"Situasi itu tentu berpotensi melanggar kebebasan berserikat warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi," tutur dia.
Baca: Yusril Nilai tak Ada Kegentingan Soal Penerbitan Perppu Pembubaran Ormas
Semangat untuk menjaga falsafah Pancasila dan UUD 1945, kata dia, haruslah didukung seluruh elemen masyarakat. Namun, pengaturan penjatuhan sanksi terhadap ormas dan adanya pemidanaan yang tidak proposional akan membangkitkan sifat represif negara.
PSHK pun mendorong DPR untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dalam masa sidang berikutnya demi menghindari situasi yang kontraproduktif terhadap perkembangan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Mereka juga mendukung upaya kalangan masyarakat sipil untuk mengajukan permohonan pengujian Perppu Ormas ke MK.
Baca: Pemerintah Persilakan HTI Uji Materi Perppu Ormas
Pemerintah telah resmi menerbitkan Perppu Ormas, Rabu, 11 Juli 2017. Perppu ini diyakini sebagai tindak lanjut rencana pemerintah untuk membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap memiliki asas dan kegiatan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah beralasan, UU Ormas belum secara komprehensif mengatur mekanisme pemberian sanksi yang efektif sehingga terjadi kekosongan hukum.
medcom.id, Jakarta: Alasan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dinilai lemah. Proses serta substansi penerbitan Perppu Ormas pun menuai kritik.
"Dari segi prosedural, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi tiga prasyarat kondisi sebagaimana dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 38/PUU-VII/2009," kata Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting kepada
Metrotvnews.com, Kamis, 12 Juli 2017.
Menurut dia, tiga prasyarat itu, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU. Ketiga prasyarat itu pun tidak terpenuhi dalam penerbitan Perppu Ormas.
"UU Ormas dengan jelas telah mengatur mekanisme penjatuhan sanksi, termasuk pembubaran, terhadap ormas yang asas maupun kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945," papar dia.
Dari segi susbtansial, kata dia, Perppu Ormas telah menghilangkan bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat di Indonesia, yaitu proses pembubaran organisasi melalui pengadilan. Pasal 61 Perppu Ormas memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan.
Sementara itu, proses itu penting untuk menjamin prinsip
due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil. Mekanisme ini juga mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan ormas.
"Perppu Ormas telah menempatkan posisi negara kembali berhadap-hadapan dengan organisasi masyarakat sipil, sama seperti yang terjadi pada masa Orde Baru." terang Miko.
Dia menjelaskan, pembubaran ormas tanpa melalui jalur pengadilan terakhir kali terjadi saat Pemerintah Orde Baru. Melalui UU Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Ormas, organisasi Pemuda Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) pada 1987 dibubarkan secara sepihak.
Miko menilai, ketentuan dalam Perppu Ormas memungkinkan penjatuhan sanksi pidana terhadap setiap orang yang menjadi pengurus atau anggota ormas apabila ormasnya melakukan pelanggaran. Ketentuan itu sangat problematik karena memungkinkan negara untuk menghukum orang bukan karena tindakan pidana yang dilakukan, melainkan karena status keanggotaan di dalam sebuah ormas.
"Situasi itu tentu berpotensi melanggar kebebasan berserikat warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi," tutur dia.
Baca: Yusril Nilai tak Ada Kegentingan Soal Penerbitan Perppu Pembubaran Ormas
Semangat untuk menjaga falsafah Pancasila dan UUD 1945, kata dia, haruslah didukung seluruh elemen masyarakat. Namun, pengaturan penjatuhan sanksi terhadap ormas dan adanya pemidanaan yang tidak proposional akan membangkitkan sifat represif negara.
PSHK pun mendorong DPR untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dalam masa sidang berikutnya demi menghindari situasi yang kontraproduktif terhadap perkembangan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Mereka juga mendukung upaya kalangan masyarakat sipil untuk mengajukan permohonan pengujian Perppu Ormas ke MK.
Baca: Pemerintah Persilakan HTI Uji Materi Perppu Ormas
Pemerintah telah resmi menerbitkan Perppu Ormas, Rabu, 11 Juli 2017. Perppu ini diyakini sebagai tindak lanjut rencana pemerintah untuk membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap memiliki asas dan kegiatan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah beralasan, UU Ormas belum secara komprehensif mengatur mekanisme pemberian sanksi yang efektif sehingga terjadi kekosongan hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)