Gerobak dagang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari Kementerian Perdagangan. Medcom.id/Siti Yona
Gerobak dagang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari Kementerian Perdagangan. Medcom.id/Siti Yona

Kasus Gerobak Dagang, 2 Pejabat Kemendag Terima Suap 1,9 Miliar

Siti Yona Hukmana • 08 September 2022 08:35

Jakarta: Sebanyak dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Perdagangan (Kemendag) ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan gerobak dagang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Tahun Anggaran 2018-2019 di Kemendag. Keduanya menerima suap senilai Rp1,9 miliar.
 
"Berdasarkan alat bukti yang kita dapatkan dalam proses penyidikan cukup kuat menerima suap Rp800 juta untuk (tersangka) Tahun Anggaran 2018, yang untuk (tersangka) Tahun Anggaran 2019 menerima suap Rp1,1 miliar," kata Direktur Tindak Pidana Korupsi (Dittipdikor) Bareskrim Polri Brigjen Cahyono Wibowo saat dikonfirmasi, Kamis, 8 September 2022.
 
Tersangka dalam pengadaan gerobak dagang Tahun Anggaran 2018 adalah Putu Indra Wijaya. Dia PPK yang menjabat sebagai Kabag Keuangan Setditjen PDN Kemendag.

Sedangkan, tersangka dalam pengadaan gerobak dagang Tahun Anggaran 2019 ialah Bunaya Priambudi. Dia PPK yang menjabat sebagai Kasubag Tata Usaha (TU) di Direktorat Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) pada Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (DJPDN) Kemendag.

Putu Indra Wijaya Terima suap Rp800 juta

Cahyono menuturkan suap Rp800 juta yang diterima Putu Indra Wijaya itu dalam rangka mendapatkan pekerjaan pengadaan gerobak pada 2018. Menurut dia, ada korespondensi antara PPK dan para pihak yang ditunjuk sebagai pelaksanaan pekerjaan.
 
Dalam penunjukan pelaksana pekerjaan proyek pengadaan gerobak dagang itu ada lelang. Sebelum lelang, Putu beberapa kali bertemu dan bermufakat dengan penyedia barang dan jasa, yakni BW dan M untuk mengatur lelang menjadi milik BW dan M.
 
"Putu meminta uang sebesar Rp800 juta kepada BW dan M dengan jaminan pekerjaan pembuatan gerobak dagang milik BW dan M. Saudara BW menggunakan perusahaan PT PDM," ungkap Cahyono.
 
Kemudian, dalam proses lelang dengan metode pascakualifikasi dua file sistem nilai, Putu memengaruhi dan bersepakat dengan tim kelompok kerja (Pokja) untuk memenangkan perusahaan milik BW dan M. Yakni dengan cara menambahkan persyaratan memiliki pengalaman sejenis dan dalam penilaian PPK ikut menilai.
 
"Pokja menerima uang sebesar Rp600 juta)," ujar Cahyono.
 
Pada 17 Oktober 2018, dilakukan penandatangan kontrak antara PPK, yakni Putu Indra Wijaya dan perusahaan BW, PT Piramida Dimensi Milenia. Nilai kontrak yang digelontorkan Kemendag Rp49 miliar untuk 7.200 gerobak. Kemendag memberikan waktu lama pengerjaan 75 hari kalender.
 
Setelah kontrak ditandatangani, perusahaan pendukung mengundurkan diri dengan alasan ketidakcocokan harga. Atas hal itu, PPK sepakat dengan BW selaku pemenang lelang mengalihkan pembuatan gerobak kepada pihak lain yang tidak ada dalam kontrak dan tanpa ikatan berupa perjanjian kerja sama (PKS).
 
Sampai 31 Desember 2018 kontrak berakhir, gerobak dagang yang selesai dikerjakan hanya sampai 450 unit. Kemudian, sampai Desember 2019, gerobak dagang yang dikerjakan hanya 2.500 unit dari 7.200 sesuai kontrak.

"Sisanya, 4.700 unit tidak bisa dipertanggungjawabkan PPK dan perusahaan penyedia fiktif," tutur Cahyono.

Baca: 2 Pejabat Kemendag Tersangka Korupsi Gerobak Dagang Terancam Hukuman Mati

Perbuatan rasuah itu menimbulkan kerugian keuangan negara Rp30 miliar berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Cahyono mengendus ada beberapa pihak lain yang menerima uang haram dari proyek tersebut. Penyidikan masih dilakukan.

Bunaya Priambudi terima suap Rp1,1 miliar

Sementara itu, Bunaya Priambudi PPK yang menjabat sebagai Kasubag TU menerima suap Rp1,1 miliar untuk proyek pengadaan gerobak Tahun Anggaran 2019. Menariknya, uang haram itu digunakan untuk menutupi penggantian ganti rugi terhadap suatu peristiwa pidana tersebut.
 
"Jadi ada Rp1,1 miliar yang diterima suap dan Rp1,1 tersebut digunakan untuk pembayaran ganti rugi terhadap pekerjaan yang lain," ungkap Cahyono.
 
Penerimaan suap itu berawal saat Bunaya beberapa kali bertemu dan bermufakat dengan penyedia jasa BW dan M. Bunaya meminta uang Rp400 juta kepada BW dan M yang digunakan untuk keperluan pribadinya.
 
Dalam proses lelang dengan metode pascakualifikasi satu file sistem gugur harga terendah, Bunaya memengaruhi dan bersepakat dengan tim Pokja untuk memenangkan perusahaan BW dan M dengan cara tidak mengecek perusahaan utama, melainkan hanya perusahaan pendukung. Padahal, perusahaan yang digunakan BW dan M adalah perusahaan pinjam bendera.
 
Pada 30 Oktober 2019, dilakukan penandatanganan kontrak antara PPK Bunaya Priambudi dan BS dari PT Dian Pratama Persada, dengan nilai kontrak Rp29 miliar untuk pembuatan 3.570 gerobak dagang. Terdiri dari gerobak tipe 1 sebanyak 1.850 unit dan gerobak tipe 2 sebanyak 1.720 unit.
 
Kemendag memberikan tenggat waktu lama pengerjaan 60 hari kalender. Setelah kontrak ditandatangani, perusahaan utama dan perusahaan pendukung tidak mengerjakan produksi gerobak. Proyek itu malah dikerjakan PT Mutiara Putra Berkat, dengan jumlah gerobak yang sudah dibuat sebanyak 1.665 gerobak souvenir dan 119 gerobak bakso.
 
Gerobak dagang yang selesai dikerjakan dan diserahkan ke Kemendag sebanyak 3.111 unit dari 3.570 unit sesuai kontrak. Sisanya, 459 unit tidak bisa dipertanggungjawabkan PPK dan perusahaan penyedia fiktif.
 
"Atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tersangka Bunaya Priambudi selaku PPK, negara telah mengalami kerugian sebesar Rp9 miliar berdasarkan perhitungan BPK," ujar Cahyono.
 
Kedua tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 dan atau perbuatan menerima hadiah atau janji untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
 
Dengan ancaman minimal penjara 18 tahun dan maksimal hukuman mati. Pemberatan hukuman itu bisa diterapkan bila tindak pidana dilakukan pada situasi darurat. 


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan