Jakarta: Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menganggap wajar Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Sejak awal, aturan memperketat remisi bagi narapidana koruptor itu sudah kalah dari Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
"Karena (terpidana kasus) apa pun di Undang-Undang disebutkan semua napi berhak mendapatkan remisi, asimilasi, bebas bersyarat maupun pengurangan-pengurangan lainnya, termasuk grasi," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada Medcom.id, Sabtu, 30 Oktober 2021.
Menurut dia, pemberian syarat ketat untuk terpidana kasus korupsi memang sudah menjadi dilema sejak dulu. Pasalnya, kebijakan yang berat itu hanya didasari peraturan pemerintah yang lebih lemah dibanding undang-undang.
"Nah, dari sisi ini memang kalau niatnya itu sebagai bentuk pembatasan korupsi, narkotika, dan teroris itu tidak berhak mendapatkan remisi itu harus dalam konteks diatur dalam undang-undang," ujar Boyamin.
Baca: Polemik Remisi untuk Koruptor
Pemerintah dan DPR disarankan menyusun UU baru terkait pemasyarakatan jika memang benar tidak mau memberikan remisi untuk koruptor. Jika acuannya cuma peraturan pemerintah, penolakan remisi bagi napi koruptor dinilai sebatas main-main belaka.
"Harus diputuskan oleh pemerintah dan DPR sebagai produk sebuah undang-undang, bukan di peraturan pemerintah. Karena undang-undangnya mengatakan itu hak semua napi, tapi peraturan pemerintah kemudian membatasi," tutur Boyamin.
Penolakan remisi bagi koruptor baru kuat jika pemerintah dan DPR satu suara dalam merevisi UU Pemasyarakatan. Boyamin menyarankan penyusunan rancangan UU (RUU) itu dilakukan mulai sekarang.
"Nah, nanti kalau diatur undang-undang maka sah karena disetujui rakyat melalui DPR," tutur Boyamin.
Sebelumnya, MA mencabut ketentuan tambahan di PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Pemberian remisi untuk narapidana kasus korupsi, terorisme, narkoba, dan kejahatan luar biasa, kini tidak dibarengi syarat ketat.
PP Nomor 99 Tahun 2012 mencantumkan syarat bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara serta melunasi denda dan uang pengganti bagi napi korupsi dan kasus berat lainnya. Namun, aturan ini kini tak berlaku.
Setidaknya, narapidana kasus korupsi dan lainnya akan mendapatkan remisi hari raya, momen kemerdekaan, serta remisi tambahan bila berjasa bagi negara. Remisi bisa diberikan apabila narapidana itu berkelakuan baik selama menjalani pidana.
Jakarta: Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menganggap wajar Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Sejak awal, aturan memperketat
remisi bagi narapidana koruptor itu sudah kalah dari Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
"Karena (terpidana kasus) apa pun di Undang-Undang disebutkan semua napi berhak mendapatkan
remisi, asimilasi, bebas bersyarat maupun pengurangan-pengurangan lainnya, termasuk grasi," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada
Medcom.id, Sabtu, 30 Oktober 2021.
Menurut dia, pemberian syarat ketat untuk terpidana kasus korupsi memang sudah menjadi dilema sejak dulu. Pasalnya, kebijakan yang berat itu hanya didasari peraturan pemerintah yang lebih lemah dibanding undang-undang.
"Nah, dari sisi ini memang kalau niatnya itu sebagai bentuk pembatasan korupsi, narkotika, dan teroris itu tidak berhak mendapatkan remisi itu harus dalam konteks diatur dalam undang-undang," ujar Boyamin.
Baca:
Polemik Remisi untuk Koruptor
Pemerintah dan DPR disarankan menyusun UU baru terkait pemasyarakatan jika memang benar tidak mau memberikan remisi untuk koruptor. Jika acuannya cuma peraturan pemerintah, penolakan remisi bagi napi koruptor dinilai sebatas main-main belaka.
"Harus diputuskan oleh pemerintah dan DPR sebagai produk sebuah undang-undang, bukan di peraturan pemerintah. Karena undang-undangnya mengatakan itu hak semua napi, tapi peraturan pemerintah kemudian membatasi," tutur Boyamin.
Penolakan remisi bagi koruptor baru kuat jika pemerintah dan DPR satu suara dalam merevisi UU Pemasyarakatan. Boyamin menyarankan penyusunan rancangan UU (RUU) itu dilakukan mulai sekarang.
"Nah, nanti kalau diatur undang-undang maka sah karena disetujui rakyat melalui DPR," tutur Boyamin.
Sebelumnya, MA mencabut ketentuan tambahan di PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Pemberian remisi untuk
narapidana kasus korupsi, terorisme, narkoba, dan kejahatan luar biasa, kini tidak dibarengi syarat ketat.
PP Nomor 99 Tahun 2012 mencantumkan syarat bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara serta melunasi denda dan uang pengganti bagi napi korupsi dan kasus berat lainnya. Namun, aturan ini kini tak berlaku.
Setidaknya, narapidana kasus korupsi dan lainnya akan mendapatkan remisi hari raya, momen kemerdekaan, serta remisi tambahan bila berjasa bagi negara. Remisi bisa diberikan apabila narapidana itu berkelakuan baik selama menjalani pidana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)