Koordinator MAKI Boyamin Saiman. Foto: MI/Rommy Pujianto.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman. Foto: MI/Rommy Pujianto.

MAKI Sebut KPK Belum Bisa Ungkap Kasus Besar, Ini Penyebabnya

Antara • 27 Maret 2023 06:42
Jakarta: Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode saat ini belum bisa mengungkap kasus korupsi skala besar atau big fish. Kondisi ini dinilai memprihatinkan.
 
"Ini memang suatu keprihatinan kita, saya berharap perlu didorong, KPK perlu di depanlah," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya, Senin, 27 Maret 2023.
 
Sejak 10 tahun lalu, Boyamin mengeklaim sudah meramal kinerja KPK akan kalah dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). Khususnya, dalam mengungkap kasus-kasus besar tindak pidana korupsi.

Boyamin menilai ketidakmampuan KPK mengungkap kasus-kasus besar seperti yang dilakukan Kejagung karena pola kerja yang dijalankan selama ini. Ia menyebut KPK hanya fokus pada operasi tangkap tangan (OTT) yang menerapkan Pasal 5 tentang suap, Pasal 11 tentang Gratifikasi serta Pasal 12 tentang Penerimaan Hadiah dan Pemerasan.
 
Jika pengembangan kasus yang dilakukan KPK selalu berasal dari OTT, kata dia, maka akan terbiasa dimudahkan dalam proses hukum. "Yaitu apa? Dia (KPK) membuat bukti istilahnya gitu, jadi dia mau ngincer orang kalau enggak jadi diberikan uangnya kan enggak jadi ada bukti bahwa terjadi suap, jadi ini sesuatu yang membuat bukti jadi gampang," jelasnya.
 
Baca: KPK Kembali Mengultimatum Pengacara Lukas Enembe

Berbeda dengan Kejagung. Boyamin mengatakan Korps Adhyaksa selalu berkontribusi atau berkutat pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan segala perubahannya. Pada Pasal 2 tentang perbuatan melawan hukum, dan Pasal 3 adalah perbuatan penyalahgunaan wewenang.
 
"Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 adalah mencari bukti dan menemukan bukti. Kenapa? Karena korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, atau setahun yang lalu sudah peristiwanya terjadi dan harus menemukan dan mencari alat bukti," terangnya.
 
Dengan pencarian alat bukti ini, kata Boyamin, otomatis ketika Kejagung fokus dan konsentrasi di situ, maka lama-lama akan menemukan 'ikan besar'. Itu terbukti dimulai dari 2018 dalam kasus Jiwasraya yang dilaporkan MAKI.
 
Dari kasus tersebut, lanjut dia, dirumuskan sampai 2019-2020 yang kemudian rentetannya menjadi kasus ASABRI. MAKI merupakan salah satu yang melaporkan ke Kejagung kasus langka dan mahalnya minyak goreng waktu itu akibat ekspor CPO, termasuk kasus impor tekstil di Batam, dan kasus Satelit Kemenhan.
 
"Kemudian beberapa kasus lain besar-besar yang termasuk kasus perkebunan Surya Darmadi yang dirumuskan kerugiannya sampai sangat tinggi di atas Rp50 triliun," kata Boyamin.
 
Hal inilah yang membuat Kejagung mampu mengungkap kasus-kasus megakorupsi dengan pola kerja berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 mencari dan menemukan alat bukti. Dengan perbedaan pola kerja ini, kata Boyamin, akan menjadi perbedaan sepanjang kedua kubu ini tetap bermain di kutub masing-masing. Akan terjadi KPK hanya fokus OTT dan hanya berkutat di Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12.
 
"Istilahnya gini, kalau KPK itu dalam konteks ini adalah OTT tidak membangun kasus, sementara Kejagung membangun kasus. Istilahnya 'case building'," paparnya.
 
Baca: Kasus Suap Lukas Enembe Bukan Rp1 Miliar, KPK: Yang Disita Kurang Lebih Rp100 Miliar

Rekam jejak KPK mengungkap kasus megakorupsi

Namun, KPK bukan berarti tidak berupaya membangun kasus. Boyamin melihat beberapa upaya dilakukan KPK, misalnya kasus terakhir adalah bansos terkait dengan PT BGR Logistik Indonesia. Bekas Direktur Utama TransJakarta diproses dan dicekal karena hasil pengembangan dari OTT kasus mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.
 
"Jadi kalau toh KPK itu menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 itu adalah pengembangan dari OTT," paparnya.
 
Boyamin mencatat KPK pernah mengembangkan kasus KTP-el pada 2012 dan diproses 2014-2015 yang dianggap sebagai prestasi mengungkap kasus besar. Dari pola kerja saat ini, menurut Boyamin, KPK tampak seperti tidak berusaha menyentuh Pasal 2 dan Pasal 3, sehingga yang diproses adalah kasus-kasus yang berdasarkan OTT. Oleh karena itu tidak akan pernah menemukan kasus besar.
 
"Karena OTT tidak, kalau bisa yang dikembangkan ya dikembangkan (kasus) kecil-kecil lagi aja dan itu yang susah memang," kata Boyamin.
 
Menurut Boyamin, keberhasilan Kejagung tidak hanya mengungkap kasus-kasus besar tapi mampu merumuskan kasus terkait kerugian perekonomian negara. Hal itu, paparnya, dimulai dari kasus impor tekstil di Batam yang terungkap terjadi kerugian perekonomian negara, termasuk kasus Surya Darmadi, dan impor minyak goreng.
 
"Jadi Kejagung itu bukan hanya kasus besar tapi sudah melompat lagi tentang merumuskan kerugian perekonomian negara, sementara KPK masih berkutat kerugian keuangan negara dan itu kemudian hanya berdasarkan OTT dan temuan BPK misalnya," kata Boyamin.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(AGA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan