Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Aparat Jangan Ragu Terapkan UU Perlindungan Anak kepada Pelaku Kekerasan

Media Indonesia.com • 28 Desember 2021 20:21
Jakarta: Aparat hukum diminta memberikan hukuman maksimal pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan korban lebih satu orang. Hukum telah menjamin sanksi maksimal pelaku kekerasan seksual anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
 
Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2016, Pasal 81 ayat 5 disebutkan pelaku kekerasan terhadap anak dapat diterapkan hukuman maksimal pidana mati, seumur hidup, dan penjara antara 10 sampai 20 tahun penjara, jika korbannya lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
 
Dalam Pasal 81 ayat 7, pelaku dapat dikenakan sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, mengatakan peraturan ini adalah bentuk nyata dari komitmen pemerintah tentang tidak adanya toleransi terhadap segala bentuk kekerasan terhadap anak.

"Harapannya peraturan ini tidak hanya menjadi pelengkap regulasi, namun diimplementasikan secara nyata oleh semua pihak, khususnya aparat penegak hukum agar memberikan efek jera pada pelaku,” ujar Bintang, dalam keterangan tertulis, Selasa, 28 Desember 2021.
 
Baca: IDI Bersedia Kebiri Kimia Pelaku Kekerasan Seksual, Ini Syaratnya
 
Bintang menilai perlu upaya lebih luas untuk sosialisasi dan implementasi UU Nomor 17 Tahun 2016 mengingat belakangan ini kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan jumlah korban lebih dari satu orang banyak terjadi di masyarakat. Kasus yang mencuat di antaranya kekerasan seksual yang dilakukan guru mengaji terhadap 25 santri di Jombang.
 
Kemudian, kasus 13 santriwati yang mengalami kekerasan seksual oleh pemilik pesantren di Kota Bandung, kasus pelecehan seksual oleh calon pendeta kepada 21 anak di Kota Batam, dan pencabulan 6 anak oleh ustaz di sebuah pesantren, Kabupaten Bintan. Terakhir, pencabulan terhadap 10 anak berusia 10-15 tahun yang dilakukan guru mengaji di Depok, Jawa Barat.
 
Bintang pun mendorong kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk terus bersinergi dengan Kementerian PPPA bersama-sama memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak. Sebab, itu sesuai dengan kewenangan Kementerian PPPA dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2019, jangan ragu untuk menerapkan UU Nomor 17 Tahun 2016.
 
"Kami akan selalu membantu pemerintah daerah dalam menyelenggarakan perlindungan anak, memastikan mereka benar-benar bisa hidup aman di Indonesia,” tegas Bintang.
 
Kasus kekerasan yang banyak terjadi tidak hanya dilakukan orang dewasa, tetapi banyak yang dilakukan anak-anak. Kasus terakhir dengan pelaku anak-anak, yaitu kasus pencabulan yang dilakukan pelajar SMP kepada sembilan anak di wilayah Jakarta Barat, kasus pornografi di Buleleng yang melibatkan satu korban dan enam pelaku yang semunya berusia anak, kasus penganiayaan dan kekerasan seksual di Malang yang melibatkan satu korban dan delapan pelaku berusia anak.  
 
Dalam kasus-kasus ini, Bintang mengingatkan untuk menerapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan sebaik-baiknya. Kemen PPPA terus memantau dan memastikan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah melalui koordinasi dengan dinas yang menyelenggarakan urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di provinsi dan kabupaten/kota.
 
"Jika pemerintah daerah menemukan kendala, Kemen PPPA siap untuk menurunkan tim untuk membantu,” kata Bintang. (Mohamad Farhan Zhuhri/MI)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan