Jakarta: Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyampaikan putusan nomor 5/MKMK/L/10/2023 terkait laporan pelanggaran etik dengan terlapor enam hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun dugaan pelanggaran etik ini ini berkaitan dengan penanganan perkara uji materi syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Dalam putusannya, MKMK memberikan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor. "Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor," kata ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Selasa, 7 November 2023 sore.
MKMK menilai, para hakim terlapor sacara bersama-bersama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebgaiamana tertuang pada sapta karsa hutama prinsip kepantasan dan kesopanan.
Adapun enam hakim tersebut Manahan M. P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dan M Guntur Hamzah.
Berikut ini profil keenam Hakim MK yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik:
1. Manahan M. P. Sitompul
Manahan Malontinge Pardamean Sitompul terpilih menggantikan Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang memasuki masa purna jabatan April 2015. Mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin ini mengucap sumpah jabatan di hadapan Presiden Joko Widodo pada Selasa (28/4) di Istana Negara.
Manahan menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Internasional Universitas Sumatra Utara (USU) tahun 1982. Ia lanjut S2 Program Magister jurusan Hukum Bisnis USU tahun 2001. Pendidikan hukum jenjang S3 Manahan mengambil Program Doktor Jurusan Hukum Bisnis USU tahun 2009.
2. Enny Nurbaningsih
Enny Nurbaningsih terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi perempuan di Indonesia. Ia terpilih oleh panitia seleksi calon hakim konstitusi setelah melalui seleksi yang ketat.
Wanita kelahiran Pangkal Pinang, 27 Juni 1962 ini menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM). Ia pun merampungkan pendidikannya dan resmi menyandang gelar sebagai sarjana hukum pada 1981.
Enny juga berhasil meraih gelar doktor pada program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM dengan tesis berjudul "Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah dalam Peraturan Daerah".
Ia juga memiliki rekam jejak karir yang beragam di bidang hukum. Di antaranya Staf Ahli Hukum DPRD Kota Yogyakarta, Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana UGM, Sekretaris Umum Asosiasi Pengajar HTN-HAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Legal consultant di Swisscontact, dan penasihat pada Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah.
3 Suhartoyo
Suhartoyo terpilih menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya sejak 7 Januari 2015 lalu. Pada 17 Januari 2015, pria kelahiran Sleman ini mengucap sumpah di hadapan Presiden Joko Widodo.
Ia pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung pada 1986. Ia pun dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011. Di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar.
Ia juga terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011).
4. Wahiduddin Adams
Mengawali kariernya di dunia birokrasi, Wahiduddin Adams justru melejit menjadi seorang hakim konstitusi. Ia sempat aktif sebagai Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun.
Sosok yang akrab disapa Wahid mengaku beralih dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi seorang penjaga konstitusi tentu bukan perkara mudah.
Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan sejumlah organisasi lainnya.
5. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh
Daniel menjadi putra pertama Nusa Tenggara Timur yang menjabat sebagai hakim konstitusi sejak MK berdiri. Lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 15 Desember 1964, Daniel merupakan putra ke-5 dari tujuh bersaudara.
Ia tercatat aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kupang sejak terdaftar menjadi mahasiswa pada 1985. Daniel juga terlibat aktif di beberapa lembaga, antara lain Sekretaris II Yayasan Kesehatan PGI Cikini, serta Pengurus Harian Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia.
Untuk menjaga independensi dan ketidakberpihakan, Daniel sudah mengajukan permohonan pengunduran diri sejak dilantik sebagai hakim di MK.
6. M Guntur Hamzah
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Mahkamah Konstitusi (MK) Muhammad Guntur Hamzah menggantikan Aswanto, sebagai hakim konstitusi.
Dia menempuh pendidikan S1 Hukum Tata Negara di Universitas Hasanuddin, Makassar dan lulus pada 1988. Kemudian S2 Hukum Tata Negara di Universitas Padjadjaran, Bandung, pada 1995.
Kemudian dia mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu hukum di Universitas Airlangga, Surabaya, dengan predikat cum laude.
Dia tercatat dua kali mendapatkan penghargaan. Pada 2009 dengan penghargaan Satya Lencana Karya Satya dan pada 2013 penghargaan Satya Lencana Karya Satya.
Jakarta: Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (
MKMK) menyampaikan putusan nomor 5/MKMK/L/10/2023 terkait laporan pelanggaran etik dengan terlapor enam hakim
Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun dugaan pelanggaran etik ini ini berkaitan dengan penanganan perkara uji materi syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Dalam putusannya, MKMK memberikan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor. "Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor," kata ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Selasa, 7 November 2023 sore.
MKMK menilai, para hakim terlapor sacara bersama-bersama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebgaiamana tertuang pada sapta karsa hutama prinsip kepantasan dan kesopanan.
Adapun enam hakim tersebut Manahan M. P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dan M Guntur Hamzah.
Berikut ini profil keenam Hakim MK yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik:
1. Manahan M. P. Sitompul
Manahan Malontinge Pardamean Sitompul terpilih menggantikan Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang memasuki masa purna jabatan April 2015. Mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin ini mengucap sumpah jabatan di hadapan Presiden Joko Widodo pada Selasa (28/4) di Istana Negara.
Manahan menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Internasional Universitas Sumatra Utara (USU) tahun 1982. Ia lanjut S2 Program Magister jurusan Hukum Bisnis USU tahun 2001. Pendidikan hukum jenjang S3 Manahan mengambil Program Doktor Jurusan Hukum Bisnis USU tahun 2009.
2. Enny Nurbaningsih
Enny Nurbaningsih terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi perempuan di Indonesia. Ia terpilih oleh panitia seleksi calon hakim konstitusi setelah melalui seleksi yang ketat.
Wanita kelahiran Pangkal Pinang, 27 Juni 1962 ini menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM). Ia pun merampungkan pendidikannya dan resmi menyandang gelar sebagai sarjana hukum pada 1981.
Enny juga berhasil meraih gelar doktor pada program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM dengan tesis berjudul "Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah dalam Peraturan Daerah".
Ia juga memiliki rekam jejak karir yang beragam di bidang hukum. Di antaranya Staf Ahli Hukum DPRD Kota Yogyakarta, Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana UGM, Sekretaris Umum Asosiasi Pengajar HTN-HAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Legal consultant di Swisscontact, dan penasihat pada Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah.
3 Suhartoyo
Suhartoyo terpilih menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya sejak 7 Januari 2015 lalu. Pada 17 Januari 2015, pria kelahiran Sleman ini mengucap sumpah di hadapan Presiden Joko Widodo.
Ia pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung pada 1986. Ia pun dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011. Di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar.
Ia juga terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011).
4. Wahiduddin Adams
Mengawali kariernya di dunia birokrasi, Wahiduddin Adams justru melejit menjadi seorang hakim konstitusi. Ia sempat aktif sebagai Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun.
Sosok yang akrab disapa Wahid mengaku beralih dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi seorang penjaga konstitusi tentu bukan perkara mudah.
Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan sejumlah organisasi lainnya.
5. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh
Daniel menjadi putra pertama Nusa Tenggara Timur yang menjabat sebagai hakim konstitusi sejak MK berdiri. Lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 15 Desember 1964, Daniel merupakan putra ke-5 dari tujuh bersaudara.
Ia tercatat aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kupang sejak terdaftar menjadi mahasiswa pada 1985. Daniel juga terlibat aktif di beberapa lembaga, antara lain Sekretaris II Yayasan Kesehatan PGI Cikini, serta Pengurus Harian Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia.
Untuk menjaga independensi dan ketidakberpihakan, Daniel sudah mengajukan permohonan pengunduran diri sejak dilantik sebagai hakim di MK.
6. M Guntur Hamzah
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Mahkamah Konstitusi (MK) Muhammad Guntur Hamzah menggantikan Aswanto, sebagai hakim konstitusi.
Dia menempuh pendidikan S1 Hukum Tata Negara di Universitas Hasanuddin, Makassar dan lulus pada 1988. Kemudian S2 Hukum Tata Negara di Universitas Padjadjaran, Bandung, pada 1995.
Kemudian dia mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu hukum di Universitas Airlangga, Surabaya, dengan predikat cum laude.
Dia tercatat dua kali mendapatkan penghargaan. Pada 2009 dengan penghargaan Satya Lencana Karya Satya dan pada 2013 penghargaan Satya Lencana Karya Satya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PRI)