Juru bicara KPK Febri Diansyah. ANT/Reno Esnir.
Juru bicara KPK Febri Diansyah. ANT/Reno Esnir.

KPK Minta Praperadilan Sofyan Basir Ditunda

Fachri Audhia Hafiez • 20 Mei 2019 11:33
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyurati Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkaitan dengan sidang praperadilan Direktur Utama nonaktif PT PLN Sofyan Basir (SFB). Lembaga antirasuah meminta sidang tersebut dijadwalkan ulang.
 
"Permintaan penjadwalan ulang sidang praperadilan SB (Sofyan Basir). Kita sudah sampaikan surat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Jakarta, Senin, 20 Mei 2019.
 
Febri mengatakan permohonan itu telah diajukan sejak Jumat, 17 Mei 2019. Permohonan penjadwalan ulang merujuk pada koordinasi di internal KPK berkaitan dengan sidang tersebut.

"Pertimbangannya, kebutuhan koordinasi terkait kebutuhan praperadilan," ucap Febri.
 
Sidang praperadilan tersangka Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 Sofyan Basir sedianya digelar hari ini. Gugatan ditujukan kepada KPK terkait status penetapan tersangka. 
 
Permohonan praperadilan tercatat dengan nomor perkara 48/Pid.Pra/2019/PN JKT.SEL. Salah satu permohonan dalam gugatan itu memerintahkan KPK tidak melakukan tindakan hukum apa pun terhadap Sofyan Basir.
 
KPK diminta tidak melakukan pemeriksaan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tidak melimpahkan berkas perkara dari penyidikan ke penuntutan. Itu dilakukan selama pemeriksaan praperadilan sampai adanya putusan pengadilan dalam perkara permohonan praperadilan. 
 
Sofyan Basir menganggap penyidikan yang dilakukan KPK terhadap kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Berbagai keputusan atau penetapan yang dikeluarkan KPK terkait penetapan tersangka, termasuk penyidikan dengan menggunakan alat bukti lama atau dinyatakan bukan alat bukti baru, melainkan diperoleh dari perkara-perkara lain sebelumnya.
 
Baca: Praperadilan Sofyan Basir Digelar Hari Ini
 
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang mengirimkan surat ke PLN pada Oktober 2015. Samantaka Batubara merupakan anak usaha Black GoldNatural Resources Ltd.Surat tersebut berisi permohonan agar PLN memasukkan proyek yang digarap perusahaan tersebut dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
 
Sayangnya, surat tidak ditanggapi. Bos BlackGold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
 
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tidak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
 
Selanjutnya pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
 
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
 
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur di PLN merealisasikan kontrak jual beli listrik atau Power Purchasment Agreement (PPA) antara PLN dengan BNR dan CHEC.
 
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham tiga tahun penjara.
 
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DRI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan