Ilustrasi: Medcom.id
Ilustrasi: Medcom.id

Menakar Keabsahan Status Justice Collaborator Nazaruddin

Candra Yuri Nuralam • 19 Juni 2020 06:50
Jakarta: Terpidana kasus suap Wisma Atlet dan proyek Hambalang, Muhammad Nazaruddin, dibebaskan lebih cepat karena dianggap bekerja sama (justice collaborator). Namun, status justice collaborator Nazaruddin menjadi polemik. 
 
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumkam) menyebut Nazaruddin pernah menjadi justice collaborator. 'Nyanyian' Nazaruddin menyeret beberapa pejabat negara sehingga diganjar pengampunan.
 
Keputusan kerja sama itu tertuang dalam surat nomor R-2250/55/06/2014 serta surat nomor R-2576/55/06/2017. Keduanya tercatat atas nama Muhammad Nazaruddin.

Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah memberikan status justice collaborator kepada Nazaruddin. KPK mengklaim Nazaruddin telat 'bernyanyi'. Justice collaborator seharusnya dilakukan sebelum perkara.
 
KPK mengamini adanya kontrak kerja sama dengan Nazaruddin. Namun hal itu terjadi saat proses penyidikan dan persidangan kasusnya telah rampung. Hal itu bukan bagian dari justice collaborator.
 
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai tindakan Ditjenpas benar. Lembaga pengurus lembaga pemasyarakatan ini berpatokan pada dua surat kerja sama. 
 
"Menurut saya iya itu termasuk justice collaborator, tapi surat itu hanya berlaku kasus per kasus," kata Fickar kepada Medcom.id, Jumat, 19 Juni 2020.
 
Fickar menjelaskan justice collaborator didefinisikan sebagai pelaku tindak pidana tertentu, tapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Untuk mendapatkan status justice collaborator, jaksa di persidangan harus memberikan keterangan dan bukti yang akurat yang sangat signifikan terlebih dahulu.
 
"Atas jasa-jasanya, justice collaborator dapat diberi keringanan oleh hakim berupa pidana percobaan bersyarat khusus dan atau pidana penjara paling ringan dibandingkan para terdakwa lainnya dalam perkara yang sama," ujar Fickar.
 
Fickar menjelaskan status justice collaborator ada dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Aturan menyebutkan pemberian perlakuan khusus yang tetap harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
 
"Salah satu latar belakang lahirnya SEMA Nomor 4 Tahun 2011 adalah merupakan tindak lanjut dari Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) Antikorupsi dan ditambah dengan Konvensi PBB Antikejahatan Transnasional yang Terorganisasi," tutur Fickar.
 
Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) Konvensi PBB Antikorupsi mengatur tentang kewajiban negara peserta konvensi untuk mempertimbangkan pengurangan hukuman dan bahkan kekebalan penuntutan bagi pelaku yang bekerja sama. Dalam kasus ini, Fickar menilai status justice collaborator untuk Nazaruddin hanya ada di kasus suap Wisma Atlet dan proyek Hambalang. 
 
'Nyanyian' Nazaruddin di kasus korupsi KTP-el bukan bagian dari justice collaborator, tetapi whistleblower. Pasalnya, kata Fickar, Nazaruddin bukan pelaku dari kasus itu.
 
"Whistleblower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya," ucap Fickar.
 
Fickar menilai jika 'nyanyian' Nazaruddin di kasus KTP-el dianggap bagian justice collaborator, Ditjenpas membuat kesalahan. Justice collaborator hanya bisa diberikan kepada pelaku dalam sebuah kasus.
 
"Mungkin ketika Nazarudin melaporkan KTP-el yang kedudukannya sebagai whistleblower oleh Kemenkumham dianggap sebagai justice collaborator. Karena hampir di semua tindak pidana Nazaruddin sebagai pelaku utama," kata Fickar.

Kecolongan


Fickar menilai adanya kesalahanpahaman koordinasi antara KPK dan Ditjen PAS Kemenkumham menentukan status justice collaborator. Bebasnya Nazaruddin dinilai bukti kedua lembaga itu kecolongan.
 
Baca: Pertentangan Ditjen PAS dan KPK Soal Status Justice Collaborator Nazaruddin
 
"Itulah ego sektoral, kurang koordinasi, seharusnya sebelum memutuskan seluruh stakeholders dilibatkan dan diajak bicara, saya berharap polemik ini bukan soal siapa dapat berapa," ujar Fickar.
 
Nazaruddin sudah bebas sekarang. Keputusan itu tak bisa bisa dibatalkan jika karena kesalahpahaman.
 
"Sulit mencari peluang memperbaikinya, kecuali didalam pengambilan keputusan itu juga ada korupsinya dan bisa dibatalkan," terang Fickar.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan