Jakarta: Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai tidak ada yang salah jika penegak hukum terjaring operasi tangkap tangan (OTT). OTT dinilai sebagai obat membersihkan penegak hukum dari koruptor.
"OTT justru dapat menjadi obat, meski pahit, untuk membersihkan dan menyehatkan institusi," kata Zaenur kepada Medcom.id, Sabtu, 20 November 2021.
Zaenur mengatakan citra institusi bisa rusak karena perbuatan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum (APH). Kegiatan OTT juga bisa memperbaiki sistem di institusi. Sehingga, tidak terulang di kemudian hari.
"Lembaga dapat berubah menjadi lebih bersih dan sehat," ucap Zaenur.
Ia tak sependapat dengan anggapan APH tidak bisa terjaring OTT karena simbol negara. Justru, kata dia, hal itu bisa menimbulkan diskriminasi.
"Tidak melakukan OTT kepada aparat tetapi melakukannya kepada pihak lain merupakan bentuk diskriminasi. Penegakan hukum tidak boleh dibedakan dari status profesi seseorang," ujar Zaenur.
Baca: KPK: UU Tidak Membatasi OTT kepada Penegak Hukum
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron juga tidak sependapat dengan isu penegak hukum tidak boleh terjaring OTT. APH yang terlibat kasus mesti diperlakukan sama.
Ghufron mengatakan tugas KPK mengusut terduga pelaku korupsi sudah tertuang dalam Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Beleid itu menyebutkan, KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang melibatkan APH atau penyelenggara negara.
"Berarti kan (tidak boleh OTT) bertentangan dengan semangat bahwa KPK dihadirkan untuk menangani penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan," ujar Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 19 November 2021.
Jakarta: Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai tidak ada yang salah jika penegak hukum terjaring
operasi tangkap tangan (OTT). OTT dinilai sebagai obat membersihkan penegak hukum dari koruptor.
"OTT justru dapat menjadi obat, meski pahit, untuk membersihkan dan menyehatkan institusi," kata Zaenur kepada
Medcom.id, Sabtu, 20 November 2021.
Zaenur mengatakan citra institusi bisa rusak karena perbuatan
korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum (APH). Kegiatan OTT juga bisa memperbaiki sistem di institusi. Sehingga, tidak terulang di kemudian hari.
"Lembaga dapat berubah menjadi lebih bersih dan sehat," ucap Zaenur.
Ia tak sependapat dengan anggapan APH tidak bisa terjaring OTT karena simbol negara. Justru, kata dia, hal itu bisa menimbulkan diskriminasi.
"Tidak melakukan OTT kepada aparat tetapi melakukannya kepada pihak lain merupakan bentuk diskriminasi. Penegakan hukum tidak boleh dibedakan dari status profesi seseorang," ujar Zaenur.
Baca:
KPK: UU Tidak Membatasi OTT kepada Penegak Hukum
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Nurul Ghufron juga tidak sependapat dengan isu penegak hukum tidak boleh terjaring OTT. APH yang terlibat kasus mesti diperlakukan sama.
Ghufron mengatakan tugas KPK mengusut terduga pelaku korupsi sudah tertuang dalam Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Beleid itu menyebutkan, KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang melibatkan APH atau penyelenggara negara.
"Berarti kan (tidak boleh OTT) bertentangan dengan semangat bahwa KPK dihadirkan untuk menangani penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan," ujar Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 19 November 2021.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)