Ilustrasi/Medcom.id
Ilustrasi/Medcom.id

Dissenting Opinion di Kasus ASABRI Diminta Jadi Catatan

Candra Yuri Nuralam • 06 Januari 2022 15:28
Jakarta: Dissenting opinion terkait kerugian negara dalam kasus korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) disebut sesuai aturan. Keputusan berbeda itu diminta menjadi catatan.
 
"Dissenting opinion ini penting untuk menjadi catatan bagi pengadilan di atasnya," kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno saat dikonfirmasi, Kamis, 6 Januari 2022.
 
Pengadilan yang dimaksud Nur yakni di tingkat banding dan kasasi. Sebab, argumentasi dissenting opinion Hakim Mulyono Dwi Purwanto merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016.

Dalam putusan itu, MK mencabut frasa 'dapat' dalam Pasal 2 dan 3 terkait penghitungan kerugian negara di Undang-Undang Tipikor. Sehingga, tafsir penghitungan kerugian keuangan negara mesti berdasarkan kerugian nyata, bukan potensi kerugian. 
 
Baca: Vonis Susulan 2 Terdakwa ASABRI dan Dissenting Opinion Para Hakim
 
"Itu sebetulnya sama maknanya dalam Pasal 1 angka 22 dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai,” jelas Nur.
 
Di sisi lain, Nur mengkritik penghitungan kerugian negara di kasus ASABRI oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut Nur, BPK menggunakan dua parameter berbeda.
 
"Jadi, BPK mengatakan pembelian dana investasi tidak sesuai dengan prosedur, akan tetapi di dalam perhitungannya itu menggunakan pengembalian efek yang diterima dari reksadana yang dibeli secara tidak sah," kata Nur.
 
Hal tersebut, kata dia, membuat Hakim Mulyono menilai penghitungan belum menunjukkan kerugian negara yang nyata. Penghitungan dinilai hanya menunjukkan potensi kerugian.
 
Dia enggan masuk terlalu jauh ke proses dan mekanisme penghitungan kerugian negara. Nur ingin memastikan penghitungan harus merujuk pada kerugian faktual, sebab hal tersebut akan menjadi beban terpidana mengembalikan uang kepada negara.
 
"Jadi, harus nyata dan pasti jangan sampai kerugian negara yang nyata hanya Rp5 miliar, lalu jadi Rp5 triliun, mampus terpidananya mengembalikan, padahal bukan sebesar itu yang dia nikmati,” kata Nur.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan