Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan, Ainul Faqih, pada Selasa, 19 Januari 2021. Ainul dicecar soal penampungan hasil korupsi ekspor benih lobster.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo diduga menampung uang rasuah menggunakan satu rekening. Kuat dugaan uang haram dari ekspor benih lobster itu ditampung di rekening Ainul.
"Digali keterangannya terkait dugaan aliran sejumlah uang dalam rekening bank atas nama yang bersangkutan di mana diduga bersumber dari para eksportir benih lobster dan dalam penggunaannya pun untuk kebutuhan tersangka EP (Edhy Prabowo)," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Rabu, 20 Januari 2021.
Ali tak membeberkan total eksportir yang mengirim uang ke rekening Ainul. Ali menerangkan uang itu digunakan Edhy untuk belanja perabotan mewah. Sebagian barang mewah itu sudah disita penyidik.
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka ialah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Baca: KPK Endus 14 Perusahaan Selundupkan Benih Lobster
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Kementerian KPK diduga memonopoli ekspor. Sebab, ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) memeriksa staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan, Ainul Faqih, pada Selasa, 19 Januari 2021. Ainul dicecar soal penampungan hasil korupsi ekspor benih lobster.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo diduga menampung uang rasuah menggunakan satu rekening. Kuat dugaan uang haram dari ekspor benih lobster itu ditampung di rekening Ainul.
"Digali keterangannya terkait dugaan aliran sejumlah uang dalam rekening bank atas nama yang bersangkutan di mana diduga bersumber dari para eksportir benih lobster dan dalam penggunaannya pun untuk kebutuhan tersangka EP (Edhy Prabowo)," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Rabu, 20 Januari 2021.
Ali tak membeberkan total eksportir yang mengirim uang ke rekening Ainul. Ali menerangkan uang itu digunakan Edhy untuk belanja perabotan mewah. Sebagian barang mewah itu sudah disita penyidik.
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka ialah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Baca:
KPK Endus 14 Perusahaan Selundupkan Benih Lobster
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Kementerian KPK diduga
memonopoli ekspor. Sebab, ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)