Jakarta: Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait keterlibatan TNI dalam penanganam terorisme dinilai tidak jelas mengatur batas kewenangan TNI. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih tanggung jawab dengan instansi kepolisian.
"Tidak diberikan batasan secara detail dalam pemberian fungsi yang luas terhadap penangkalan (terorisme). Salah satunya dalam operasi intelijen, operasi teritorial informasi, dan lainya," ujar dosen fakultas hukum Universitas Airlangga Amira Paripurna dalam diskusi virtual, Rabu, 4 November 2020.
Amira mencontohkan dalam pada Pasal 2 menjelaskan tugas TNI dalam mengatasi terorisme bagian dari operasi militer selain perang. Hal ini bersifat rancu, lantaran definisi operasi militer selain perang tidak dijelaskan.
"Akan ada wilayah abu-abu. Ada irisan-irisan (ranah kewenanga) yang nanti TNI bisa kebabalasan," tutur Amira.
Baca: Pembahasan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Diminta Hati-hati
Selain itu, Pasal 3 mengatur kewenangan TNI dalam melakukan penangkalan yang menyebut "kegiatan operasi lainya". Amira mempertanyakan maksud dari operasi lainya. Ia khawatir hal ini dapat disalahgunakan.
"Kenapa ada operasi lainya, apa ini masukdnya, ini bisa dimanfaatkan. Semakin mengerikan kalau satu (aturan) tidak diatur secara jelas," tuturnya.
Kemudian, Pasal 4 menyebut operasi intelijen yang dilakukan TNI dilaksanakan melalui penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Sedangkan kewenangan melakukan penyelidikan merupakan tugas dari penegak hukum yang dipegang kepolisian.
"Nah penyelidikan ini seperti apa. Bagaimana kalau bersingungan dengan ranah sistem peradilan pidana," bebera Amira.
Amira juga menyebut keterlibatan TNI dalam penangangan terorisme tidak memiliki mekanisme akuntabilitas yang jelas. Fungsi penangkalan yang akan menjadi kewenangan TNI diyakini berpotensi menimbulkan beragam pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Potensi pelanggaran criminal justice system ketika TNI terlibat dalam pengumpulan barang bukti, penangkapan, dan penahanan," terang dia.
Jakarta: Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait keterlibatan
TNI dalam penanganam terorisme dinilai tidak jelas mengatur batas kewenangan TNI. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih tanggung jawab dengan instansi kepolisian.
"Tidak diberikan batasan secara detail dalam pemberian fungsi yang luas terhadap penangkalan (terorisme). Salah satunya dalam operasi intelijen, operasi teritorial informasi, dan lainya," ujar dosen fakultas hukum Universitas Airlangga Amira Paripurna dalam diskusi virtual, Rabu, 4 November 2020.
Amira mencontohkan dalam pada Pasal 2 menjelaskan tugas TNI dalam mengatasi
terorisme bagian dari operasi militer selain perang. Hal ini bersifat rancu, lantaran definisi operasi militer selain perang tidak dijelaskan.
"Akan ada wilayah abu-abu. Ada irisan-irisan (ranah kewenanga) yang nanti TNI bisa kebabalasan," tutur Amira.
Baca:
Pembahasan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Diminta Hati-hati
Selain itu, Pasal 3 mengatur kewenangan TNI dalam melakukan penangkalan yang menyebut "kegiatan operasi lainya". Amira mempertanyakan maksud dari operasi lainya. Ia khawatir hal ini dapat disalahgunakan.
"Kenapa ada operasi lainya, apa ini masukdnya, ini bisa dimanfaatkan. Semakin mengerikan kalau satu (aturan) tidak diatur secara jelas," tuturnya.
Kemudian, Pasal 4 menyebut operasi intelijen yang dilakukan TNI dilaksanakan melalui penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Sedangkan kewenangan melakukan penyelidikan merupakan tugas dari penegak hukum yang dipegang
kepolisian.
"Nah penyelidikan ini seperti apa. Bagaimana kalau bersingungan dengan ranah sistem peradilan pidana," bebera Amira.
Amira juga menyebut keterlibatan TNI dalam penangangan terorisme tidak memiliki mekanisme akuntabilitas yang jelas. Fungsi penangkalan yang akan menjadi kewenangan TNI diyakini berpotensi menimbulkan beragam pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Potensi pelanggaran
criminal justice system ketika TNI terlibat dalam pengumpulan barang bukti, penangkapan, dan penahanan," terang dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)