Jakarta: Pakar psikologi forensik Reza Indragiri menilai hasil poligraf bisa diabaikan. Bahkan, alat yang digunakan kepada terdakwa Ferdy Sambo cs itu dinilai bukan teknologi.
"Saya memandang poligraf sebagai pseudoscience (sains semu)," kata Reza dalam diskusi virtual Crosscheck Medcom.id bertajuk ‘Poligraf, Kartu Mati Sambo dan PC?’ Minggu, 18 Desember 2022.
Reza mengatakan kebohongan ialah kesenjangan antara pernyataan dan kenyataan. Sayangnya, poligraf memiliki masalah mendasar berupa tidak tahu kenyataan seperti apa.
"Alat ini sebatas membandingkan antara pernyataan dengan respons fisiologis manusia," papar dia.
Reza mencontohkan respons fisiologis manusia seperti suhu tubuh, ukuran pupil mata, dan denyut jantung. Kemudian tetesan keringat, besaran pori-pori, hingga tempo pernapasan seseorang.
"Sehingga kalau grafis berubah drastis, itu ditafsirkan sebagai kebohongan. Padahal bisa saja (yang dites) sedang menahan buang air kecil," jelas dia.
Reza menyebut pemakaian poligraf sebagai pendeteksi kebohongan sebagai lompatan logika. Sebab, banyak faktor yang memengaruhi hasil poligraf
"Harus ada pembahasan tiga aspek ketika poligraf dihadirkan dalam sebuah sidang yaitu metode, etik, dan seberapa jauh pengadilan menyikapinya," ujar dia.
Ahli Poligraf Polri Aji Febrianto memberikan hasil tes poligraf para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J. Terdakwa Ferdy Sambo mendapat skor minus delapan sehingga terindikasi bahwa ia berbohong. Kemudian, terdakwa lainnya Putri Candrawathi juga mendapat skor minus 25. Sementara itu, terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E memperoleh skor plus 13.
Sedangkan, terdakwa Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf menjalani dua kali pemeriksaan. Skor Bripka RR pada pemeriksaan pertama yakni plus 11 dan pemeriksaan kedua plus 19. Sedangkan, Kuat Ma’ruf pada pemeriksaan pertama mendapatkan skor plus 9 dan pemeriksaan kedua minus 13.
Jakarta: Pakar psikologi forensik Reza Indragiri menilai hasil
poligraf bisa diabaikan. Bahkan, alat yang digunakan kepada terdakwa
Ferdy Sambo cs itu dinilai bukan teknologi.
"Saya memandang poligraf sebagai pseudoscience (sains semu)," kata Reza dalam diskusi virtual
Crosscheck Medcom.id bertajuk ‘Poligraf, Kartu Mati Sambo dan PC?’ Minggu, 18 Desember 2022.
Reza mengatakan
kebohongan ialah kesenjangan antara pernyataan dan kenyataan. Sayangnya, poligraf memiliki masalah mendasar berupa tidak tahu kenyataan seperti apa.
"Alat ini sebatas membandingkan antara pernyataan dengan respons fisiologis manusia," papar dia.
Reza mencontohkan respons fisiologis manusia seperti suhu tubuh, ukuran pupil mata, dan denyut jantung. Kemudian tetesan keringat, besaran pori-pori, hingga tempo pernapasan seseorang.
"Sehingga kalau grafis berubah drastis, itu ditafsirkan sebagai kebohongan. Padahal bisa saja (yang dites) sedang menahan buang air kecil," jelas dia.
Reza menyebut pemakaian poligraf sebagai pendeteksi kebohongan sebagai lompatan logika. Sebab, banyak faktor yang memengaruhi hasil poligraf
"Harus ada pembahasan tiga aspek ketika poligraf dihadirkan dalam sebuah sidang yaitu metode, etik, dan seberapa jauh pengadilan menyikapinya," ujar dia.
Ahli Poligraf Polri Aji Febrianto memberikan hasil tes poligraf para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J. Terdakwa Ferdy Sambo mendapat skor minus delapan sehingga terindikasi bahwa ia berbohong. Kemudian, terdakwa lainnya Putri Candrawathi juga mendapat skor minus 25. Sementara itu, terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E memperoleh skor plus 13.
Sedangkan, terdakwa Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf menjalani dua kali pemeriksaan. Skor Bripka RR pada pemeriksaan pertama yakni plus 11 dan pemeriksaan kedua plus 19. Sedangkan, Kuat Ma’ruf pada pemeriksaan pertama mendapatkan skor plus 9 dan pemeriksaan kedua minus 13.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)