Jakarta: Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte membantah terlibat dalam kasus dugaan penghapusan red notice Djoko Soegiarto Tjandra. Napoleon mengaku menjadi korban fitnah dari media sosial.
"Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui medsos yang memicu malapraktik dalam penegakan hukum, berupa masifnya pergunjingan publik akibat sinisme terhadap kekuasaan," kata Napoleon saat membacakan pembelaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin, 22 Februari 2021.
Napoleon menyebut fitnah terjadi saat Djoko Tjandra masuk ke Indonesia secara ilegal dari Malaysia sekitar Juni 2020. Kabar masuknya Djoko Tjandra viral di media sosial diikuti pemberitaan media massa.
Dia mengatakan publik mulai menyalahkan aparat penegak hukum usai kabar Djoko Tjandra masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi. Usai itu, publik mulai mempertanyakan kinerja polisi yang kecolongan dengan masuknya Djoko Tjandra.
"Publikasi sebuah foto selfie dari Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, dan Brigjen Prasetyo, publikasi selembar surat jalan yang ditandatangi oleh Brigjen Prasetyo utomo, dan publikasi selembar surat bebas covid-19 yang ditandatangani oleh dokter pusdokes Polri di media massa sejak tanggal 14 Juni 2020," ujar Napoleon.
(Baca: Kasus Penghapusan Red Notice, Prasetijo Utomo Dituntut 2,5 Tahun Penjara)
Napoleon mengatakan foto viral itu secara tidak langsung menunjuk Polri sebagai dalang yang membantu Djoko Tjandra masuk ke Indonesia. Dia menyebut dari situ mulai disalahkan atas semua tuduhan masuknya Djoko Tjandra dan penghapusan red notice.
"Yang telah menggeneralisir setiap simbolnya sebagai pelampiasan hasrat ghibah, sehingga memicu malapraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi," tutur Napoleon.
Napoleon mengeklaim seluruh bukti persidangan tidak membuktikan dirinya menghapus nama Djoko Tjandra dari red notice. Penghapusan red notice diklaim bukan kewenangannya selama menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri.
Napoleon meminta dibebaskan dari semua tuntutan. Dia juga meminta hakim mengembalikan kedudukannya di kepolisian.
Sebelumnya, Napoleon dituntut tiga tahun penjara. Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung menilai hukuman itu sesuai dengan tindakannya menghapus nama Djoko Tjandra dari red notice.
"Menuntut dengan pidana penjara selama tiga tahun dengan perintah agar terdakwa ditahan di rumah tahanan," kata JPU pada Kejaksaan Agung Junaedi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin, 15 Februari 2021.
Jaksa juga meminta hakim menjatuhkan hukuman denda Rp100 juta ke Napoleon. Denda wajib diganti dengan penjara enam bulan jika Napoleon tidak sanggup membayar.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id