Jakarta: Mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo dituntut 2,5 tahun penjara. Dia dinilai terbukti terlibat dalam kasus penghapusan nama Djoko Soegiarto Tjandra dari red notice.
"Menuntut supaya majelis hakim menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama dua tahun enam bulan penjara," kata salah satu jaksa saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 8 Februari 2021.
Jaksa juga menuntut majelis menjatuhkan denda pidana sebesar Rp100 juta subsider enam bulan bui. Permohonan justice collaborator yang diajukan Prasetijo turut ditolak jaksa.
Jaksa mempertimbangkan sejumlah hal dalam menentukan tuntutan hukuman. Hal yang memberatkan perbuatan Prasetijo tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan merusak kepercayaan publik.
"Hal yang meringankan terdakwa berperilaku sopan, mengakui kesalahannya, menyesali perbuatannya, dan meminta maaf," ujar jaksa.
Prasetijo didakwa menerima suap dari Djoko Soegiarto Tjandra. Prasetijo disebut menerima US$150 ribu.
(Baca: Brigjen Prasetyo Dihukum 3 Tahun Bui di Kasus Surat Jalan Palsu)
Suap diberikan agar nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Caranya, memerintahkan penerbitan sejumlah surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.
Menurut jaksa, surat-surat tersebut diberikan kepada pihak imigrasi melakukan penghapusan DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada sistem keimigrasian (SIMKIM) Ditjen Imigrasi.
Prasetijo dalam hal ini berperan menghubungkan mantan Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte dengan pengusaha Tommy Sumardi. Napoleon dalam perkara ini diduga menerima Rp6 miliar.
Perbuatan Prasetijo dan Napoleon dianggap bertentangan dengan jabatannya. Keduanya telah membiarkan Djoko Tjandra masuk ke Indonesia yang mestinya ditangkap Polri. Mereka juga telah membuka informasi Interpol yang seharusnya dirahasiakan.
Prasetijo dinilai melanggar Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jakarta: Mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim
Polri Brigjen Prasetijo Utomo dituntut 2,5 tahun penjara. Dia dinilai terbukti terlibat dalam kasus penghapusan nama
Djoko Soegiarto Tjandra dari
red notice.
"Menuntut supaya majelis hakim menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama dua tahun enam bulan penjara," kata salah satu jaksa saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 8 Februari 2021.
Jaksa juga menuntut majelis menjatuhkan denda pidana sebesar Rp100 juta subsider enam bulan bui. Permohonan
justice collaborator yang diajukan Prasetijo turut ditolak jaksa.
Jaksa mempertimbangkan sejumlah hal dalam menentukan tuntutan hukuman. Hal yang memberatkan perbuatan Prasetijo tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan merusak kepercayaan publik.
"Hal yang meringankan terdakwa berperilaku sopan, mengakui kesalahannya, menyesali perbuatannya, dan meminta maaf," ujar jaksa.
Prasetijo didakwa menerima suap dari Djoko Soegiarto Tjandra. Prasetijo disebut menerima US$150 ribu.
(Baca:
Brigjen Prasetyo Dihukum 3 Tahun Bui di Kasus Surat Jalan Palsu)
Suap diberikan agar nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Caranya, memerintahkan penerbitan sejumlah surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.
Menurut jaksa, surat-surat tersebut diberikan kepada pihak imigrasi melakukan penghapusan DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada sistem keimigrasian (SIMKIM) Ditjen Imigrasi.
Prasetijo dalam hal ini berperan menghubungkan mantan Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte dengan pengusaha Tommy Sumardi. Napoleon dalam perkara ini diduga menerima Rp6 miliar.
Perbuatan Prasetijo dan Napoleon dianggap bertentangan dengan jabatannya. Keduanya telah membiarkan Djoko Tjandra masuk ke Indonesia yang mestinya ditangkap Polri. Mereka juga telah membuka informasi Interpol yang seharusnya dirahasiakan.
Prasetijo dinilai melanggar Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)