Jakarta: Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis. Perwujudannya melalui upaya pembangunan hukum, salah satunya dengan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini sedang dilakukan pemerintah bersama DPR.
"Upaya merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda, perlu segera dilakukan sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat," kata Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Bambang Gunawan, melalui keterangan tertulis, Kamis, 22 September 2022.
Bambang mengatakan pemerintah mulai merancang RUU KUHP sejak 1970. Namun, kata dia, karena berbagai dinamika politik dan sosial sampai saat ini belum terealisasi.
"Sejumlah pasal RUU KUHP memunculkan pro dan kontra masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa. Pada September 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menunda pengesahannya dan memerintahkan peninjauan kembali pasal-pasal yang jadi sumber diskusi," kata dia.
Pada proses pembahasan teranyar, beberapa pasal RUU KUHP yang menimbulkan perdebatan dan polemik di masyarakat terus dimatangkan melalui berbagai diskusi yang melibatkan banyak pihak. Khususnya, masyarakat.
"Pemerintah sudah menyerahkan draf terbaru RUU KUHP ke Komisi III DPR seusai Rapat Kerja dengan Komisi III DPR terkait Penyerahan Penjelasan 14 poin krusial dari pemerintah pada 6 Juli 2022. Komisi III, dalam hal ini fraksi-fraksi akan melihat kembali penyempurnaan naskah dari pemerintah," kata Bambang.
Hal senada disampaikan Guru Besar Universitas Negeri Semarang R Benny Riyanto. Dia menyebut perlu pembaruan KUHP yang mengikuti perkembangan dan dinamika terkini.
"Langkah ini bukan saat ini saja dilakukan, sudah sejak beberapa periode. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) adalah badan yang pertama kali melakukan pembaruan," katanya.
Dia pun menceritakan jika KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda yang memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) yang kemudian diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Saat itu, para ahli hukum sadar bahwa produk hukum kolonial Belanda tersebut pasti tidak mampu mengikuti perkembangan kebutuhan hukum yang ada.
"Oleh karena itu, menurut sejarahnya pertama kali upaya untuk pembaruan KUHP ini dimulai pada tahun 1958 dengan dibentuknya LPHN yang kini sudah berganti nama menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional atau BPHN," kata dia.
Selanjutnya, pada 1964 mulai disusun konsep Buku I KUHP dan baru pada 2019 RUU KUHP disetujui pada Sidang Tingkat Pertama DPR dan diamanahkan untuk dilanjutkan ke Sidang Paripurna. Namun, ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah untuk menundanya.
RUU KUHP juga telah disampaikan ke DPR di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2012 l, namun belum sempat dibahas. Baru pada 2015, draf RUU KUHP dikirim ulang ke DPR melalui Surat Presiden Joko Widodo Nomor R-35/Pres/06/2015.
"Jadi sejak 5 Juni 2015 itulah RUU KUHP ini dibahas secara intens oleh DPR pada periode 2015 sampai 2019 yang pada ujungnya disepakati di Sidang Tingkat Pertama DPR untuk diteruskan pada Sidang Paripurna untuk ditetapkan," kata dia.
Namun, karena adanya beberapa isu krusial di dalam RUU KUHP tersebut, menindaklanjuti hasil pertemuan antara Presiden dengan Pimpinan DPR dan Komisi III maka Presiden kemudian memerintahkan Menteri Hukum dan HAM bersurat kepada DPR untuk menunda Rapat Paripurna. Selama penundaan tersebutlah, pemerintah terus melakukan konsultasi public hearing secara aktif dan pasif dengan menerima masukan dari Kementerian Kesehatan, Komnas HAM, Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, serta organisasi advokat hingga masyarakat sipil.
“Jadi sebenarnya pemerintah di dalam proses penundaan pengesahan RUU KUHP ini sudah banyak melakukan hal-hal terkait dengan penuntasan beberapa isu krusial yang menyebabkan tertundanya pengesahan di dalam Sidang Paripurna DPR pada 2019,” ujarnya.
Hasilnya, kemudian pada 5 Juli 2022, pemerintah menyerahkan kembali ke DPR draf RUU KUHP yang sudah mengakomodasi beberapa isu dan mengalami beberapa perbaikan secara redaksional. Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, menjabarkan mengenai isu-isu krusial RUU KUHP yang banyak mendapatkan resistensi dari masyarakat.
Isu krusial yang pertama adalah masuknya living law atau hukum yang hidup di masyarakat ke dalam RUU KUHP. Hukum adat tersebut dimasukkan ke dalam RUU KUHP karena masyarakat adat merupakan kelompok yang juga diakui di dalam konstitusi. Sementara itu, masuknya living law di RUU KUHP dianggap sebagai satu rekognisi atau pengakuan serta penghormatan pada hukum adat.
"Pertanyaannya, hukum adat yang mana? Nah, dikaitkan dengan living law ini adalah hukum adat yang masih diakui dan masih berlaku dalam suatu masyarakat,” jelasnya.
Namun, dia juga menegaskan jika tidak semua delik adat diadopsi menjadi bagian dari RUU KUHP. Tidak boleh melanggar asas Pancasila, HAM, dan juga asas hukum yang berlaku dalam masyarakat internasional.
"Ini tidak otomatis berlaku, karena ketika KUHP berlaku dua tahun sejak ditetapkannya, maka diberi waktu dua tahun lagi untuk melakukan penelitian-penelitian dan legislasi di wilayah-wilayah yang masih memiliki hukum adat," katanya.
Isu krusial selanjutnya adalah pidana mati. Menurut dia, yang perlu dicatat adalah bahwa dalam RUU KUHP, pidana mati dirumuskan secara alternatif, dengan ada yang disebut sebagai masa percobaan.
"Percobaan masuk ke penjara selama sepuluh tahun, apabila si terpidana mati berbuat baik, tidak melanggar aturan maka dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun. Jadi ini yang menentukan nanti sementara dari keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Ini untuk mencari kompromi antara mereka yang pro dan kontra pidana mati,” kata dia.
Perlu dibatasi
Harkristuti sepakat kebebasan perlu dibatasi karena Indonesia memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang juga perlu dijaga. "Kalau kebebasan berpendapat tidak dibatasi maka orang boleh menghina siapa saja, orang boleh menyebarkan berita bohong kemana saja, ini bahaya sekali, lalu pornografi juga boleh tersebar ke mana saja karena itu merupakan kebebasan berekspresi juga. Nah, ini yang kemudian kita cegah dengan membuat aturan-aturan,” katanya.
Namun, dia menggarisbawahi jika aturan tersebut tidak berarti membatasi kebebasan pers. Sebab, tidak ada pengaturan tindak pidana baru dalam RUU KUHP yang secara khusus ditujukan ke pers.
Harkristuti juga menegaskan pasal penghinaan Presiden dalam RUU KUHP bukan menghidupkan kembali Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden yang telah dianulir Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, justru mengacu pada pertimbangan dan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 mengenai Pasal 207 KUHP yang menyatakan bahwa dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat tetap bisa dituntut dengan Pasal Penghinaan Terhadap Penguasa Umum tapi sebagai delik aduan.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI), Yenti Garnasih, berpendapat tujuan hukum pidana sejak awal adalah untuk melindungi kepentingan negara, masyarakat, dan individu.
"Ini penting sekali ada di dalam asas-asasnya. Jangan juga kita mengatakan kenapa hukum mesti harus masuk ke kamar tidur kita? Di kamar tidur itu ada perkosaan, kohabitasi, dan ada yang lain-lain. Meskipun dirinya tidak merasa dirugikan, tidak ada yang dirugikan pribadinya, tetapi bagaimana dengan nilai dalam masyarakat?" kata Yenti.
Dia mengatakan Indonesia sudah merdeka sejak 77 tahun lalu tetapi masih belum punya KUHP. Dia berharap pemerintah, eksekutif, dan legislatif untuk memikirkan masalah KUHP.
"Memang BBM, listrik, dan ekonomi itu penting, tetapi semua pembangunan-pembangunan itu kalau ada pelanggaran-pelanggaran pidana memerlukan penegakan hukum pidana, memerlukan kualifikasi-kualifikasi tindak pidana yang masih relevan untuk Indonesia yang sudah merdeka,” tegasnya.
Acara 'Dialog Publik RUU KUHP' ini melibatkan perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat, kelompok pemuka agama, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat, akademisi, serta Badan Eksekutif Mahasiswa di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Acara dialog yang diadakan Kominfo itu juga berlangsung secara daring melalui aplikasi Zoom dan dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube Ditjen IKP Kominfo.
Jakarta: Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis. Perwujudannya melalui upaya pembangunan hukum, salah satunya dengan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang saat ini sedang dilakukan pemerintah bersama
DPR.
"Upaya merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda, perlu segera dilakukan sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat," kata Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kominfo), Bambang Gunawan, melalui keterangan tertulis, Kamis, 22 September 2022.
Bambang mengatakan pemerintah mulai merancang RUU KUHP sejak 1970. Namun, kata dia, karena berbagai dinamika politik dan sosial sampai saat ini belum terealisasi.
"Sejumlah pasal RUU KUHP memunculkan pro dan kontra masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa. Pada September 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menunda pengesahannya dan memerintahkan peninjauan kembali pasal-pasal yang jadi sumber diskusi," kata dia.
Pada proses pembahasan teranyar, beberapa pasal RUU KUHP yang menimbulkan perdebatan dan polemik di masyarakat terus dimatangkan melalui berbagai diskusi yang melibatkan banyak pihak. Khususnya, masyarakat.
"Pemerintah sudah menyerahkan draf terbaru RUU KUHP ke Komisi III DPR seusai Rapat Kerja dengan Komisi III DPR terkait Penyerahan Penjelasan 14 poin krusial dari pemerintah pada 6 Juli 2022. Komisi III, dalam hal ini fraksi-fraksi akan melihat kembali penyempurnaan naskah dari pemerintah," kata Bambang.
Hal senada disampaikan Guru Besar Universitas Negeri Semarang R Benny Riyanto. Dia menyebut perlu pembaruan KUHP yang mengikuti perkembangan dan dinamika terkini.
"Langkah ini bukan saat ini saja dilakukan, sudah sejak beberapa periode. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) adalah badan yang pertama kali melakukan pembaruan," katanya.
Dia pun menceritakan jika KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda yang memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) yang kemudian diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Saat itu, para ahli hukum sadar bahwa produk hukum kolonial Belanda tersebut pasti tidak mampu mengikuti perkembangan kebutuhan hukum yang ada.
"Oleh karena itu, menurut sejarahnya pertama kali upaya untuk pembaruan KUHP ini dimulai pada tahun 1958 dengan dibentuknya LPHN yang kini sudah berganti nama menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional atau BPHN," kata dia.
Selanjutnya, pada 1964 mulai disusun konsep Buku I KUHP dan baru pada 2019 RUU KUHP disetujui pada Sidang Tingkat Pertama DPR dan diamanahkan untuk dilanjutkan ke Sidang Paripurna. Namun, ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah untuk menundanya.
RUU KUHP juga telah disampaikan ke DPR di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2012 l, namun belum sempat dibahas. Baru pada 2015, draf RUU KUHP dikirim ulang ke DPR melalui Surat Presiden Joko Widodo Nomor R-35/Pres/06/2015.
"Jadi sejak 5 Juni 2015 itulah RUU KUHP ini dibahas secara intens oleh DPR pada periode 2015 sampai 2019 yang pada ujungnya disepakati di Sidang Tingkat Pertama DPR untuk diteruskan pada Sidang Paripurna untuk ditetapkan," kata dia.
Namun, karena adanya beberapa isu krusial di dalam RUU KUHP tersebut, menindaklanjuti hasil pertemuan antara Presiden dengan Pimpinan DPR dan Komisi III maka Presiden kemudian memerintahkan Menteri Hukum dan HAM bersurat kepada DPR untuk menunda Rapat Paripurna. Selama penundaan tersebutlah, pemerintah terus melakukan konsultasi public hearing secara aktif dan pasif dengan menerima masukan dari Kementerian Kesehatan, Komnas HAM, Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, serta organisasi advokat hingga masyarakat sipil.
“Jadi sebenarnya pemerintah di dalam proses penundaan pengesahan RUU KUHP ini sudah banyak melakukan hal-hal terkait dengan penuntasan beberapa isu krusial yang menyebabkan tertundanya pengesahan di dalam Sidang Paripurna DPR pada 2019,” ujarnya.
Hasilnya, kemudian pada 5 Juli 2022, pemerintah menyerahkan kembali ke DPR draf RUU KUHP yang sudah mengakomodasi beberapa isu dan mengalami beberapa perbaikan secara redaksional. Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, menjabarkan mengenai isu-isu krusial RUU KUHP yang banyak mendapatkan resistensi dari masyarakat.
Isu krusial yang pertama adalah masuknya living law atau hukum yang hidup di masyarakat ke dalam RUU KUHP. Hukum adat tersebut dimasukkan ke dalam RUU KUHP karena masyarakat adat merupakan kelompok yang juga diakui di dalam konstitusi. Sementara itu, masuknya living law di RUU KUHP dianggap sebagai satu rekognisi atau pengakuan serta penghormatan pada hukum adat.
"Pertanyaannya, hukum adat yang mana? Nah, dikaitkan dengan living law ini adalah hukum adat yang masih diakui dan masih berlaku dalam suatu masyarakat,” jelasnya.
Namun, dia juga menegaskan jika tidak semua delik adat diadopsi menjadi bagian dari RUU KUHP. Tidak boleh melanggar asas Pancasila, HAM, dan juga asas hukum yang berlaku dalam masyarakat internasional.
"Ini tidak otomatis berlaku, karena ketika KUHP berlaku dua tahun sejak ditetapkannya, maka diberi waktu dua tahun lagi untuk melakukan penelitian-penelitian dan legislasi di wilayah-wilayah yang masih memiliki hukum adat," katanya.
Isu krusial selanjutnya adalah pidana mati. Menurut dia, yang perlu dicatat adalah bahwa dalam RUU KUHP, pidana mati dirumuskan secara alternatif, dengan ada yang disebut sebagai masa percobaan.
"Percobaan masuk ke penjara selama sepuluh tahun, apabila si terpidana mati berbuat baik, tidak melanggar aturan maka dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun. Jadi ini yang menentukan nanti sementara dari keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Ini untuk mencari kompromi antara mereka yang pro dan kontra pidana mati,” kata dia.
Perlu dibatasi
Harkristuti sepakat kebebasan perlu dibatasi karena Indonesia memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang juga perlu dijaga. "Kalau kebebasan berpendapat tidak dibatasi maka orang boleh menghina siapa saja, orang boleh menyebarkan berita bohong kemana saja, ini bahaya sekali, lalu pornografi juga boleh tersebar ke mana saja karena itu merupakan kebebasan berekspresi juga. Nah, ini yang kemudian kita cegah dengan membuat aturan-aturan,” katanya.
Namun, dia menggarisbawahi jika aturan tersebut tidak berarti membatasi kebebasan pers. Sebab, tidak ada pengaturan tindak pidana baru dalam RUU KUHP yang secara khusus ditujukan ke pers.
Harkristuti juga menegaskan pasal penghinaan Presiden dalam RUU KUHP bukan menghidupkan kembali Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden yang telah dianulir Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, justru mengacu pada pertimbangan dan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 mengenai Pasal 207 KUHP yang menyatakan bahwa dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat tetap bisa dituntut dengan Pasal Penghinaan Terhadap Penguasa Umum tapi sebagai delik aduan.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI), Yenti Garnasih, berpendapat tujuan hukum pidana sejak awal adalah untuk melindungi kepentingan negara, masyarakat, dan individu.
"Ini penting sekali ada di dalam asas-asasnya. Jangan juga kita mengatakan kenapa hukum mesti harus masuk ke kamar tidur kita? Di kamar tidur itu ada perkosaan, kohabitasi, dan ada yang lain-lain. Meskipun dirinya tidak merasa dirugikan, tidak ada yang dirugikan pribadinya, tetapi bagaimana dengan nilai dalam masyarakat?" kata Yenti.
Dia mengatakan Indonesia sudah merdeka sejak 77 tahun lalu tetapi masih belum punya KUHP. Dia berharap pemerintah, eksekutif, dan legislatif untuk memikirkan masalah KUHP.
"Memang BBM, listrik, dan ekonomi itu penting, tetapi semua pembangunan-pembangunan itu kalau ada pelanggaran-pelanggaran pidana memerlukan penegakan hukum pidana, memerlukan kualifikasi-kualifikasi tindak pidana yang masih relevan untuk Indonesia yang sudah merdeka,” tegasnya.
Acara 'Dialog Publik RUU KUHP' ini melibatkan perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat, kelompok pemuka agama, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat, akademisi, serta Badan Eksekutif Mahasiswa di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Acara dialog yang diadakan Kominfo itu juga berlangsung secara daring melalui aplikasi
Zoom dan dapat disaksikan ulang melalui kanal
YouTube Ditjen IKP Kominfo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)