Jakarta: Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengakui penahanan tersangka kasus korupsi Richard Joost Lino (RJL) memakan waktu sangat lama karena keterbatasan dokumen. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membutuhkan dokumen penjualan Quay Container Crane (QCC) dari HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd (HDHM), Tiongkok, untuk menghitung kerugian negara.
"Kendalanya memang dari perhitungan kerugian negara, di mana BPK meminta agar ada dokumen," kata Alexander dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 26 Maret 2021.
Alexander menyebut KPK sudah berupaya meminta data itu melalui kedutaan Tiongkok. Pihak inspektorat dari Tiongkok sempat menyambangi KPK untuk membantu.
"Kami sampaikan bahwa kami membutuhkan berapa sih sesungguhnya harga QCC tersebut yang dijual PT HDHM," papar dia.
Bahkan, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo dan mantan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif sempat berangkat ke Tiongkok pada 2018. Mereka dijanjikan bertemu perwakilan menteri atau jaksa agung Tiongkok.
(Baca: 5 Tahun Lebih Berproses, Begini Duduk Perkara Kasus RJ Lino)
"Tapi pada saat terakhir ketika mau bertemu, (pertemuan) dibatalkan," ujar Alexander.
Lembaga Antirasuah terhimpit di tengah-tengah. BPK meminta dokumen harga QCC, sementara penyidik KPK kesulitan mendapat harga QCC dari HDHM.
"Kalau misalnya (ada data) HDHM menjual ke negara lain, itu bisa dibandingkan sehingga bisa jadi dasar perhitungan negara," jelas dia.
Akhirnya, KPK menggunakan data ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menghitung harga pokok produksi QCC. Ahli ITB menggunakan metode nilai ganti (replacement cost) untuk merekonstruksi harga pokok QCC seandainya diproduksi sendiri.
"Terjadi selisih signifikan dari harga yang dibeli dari PT Pelindo II ke HDHM sebesar USD15 juta, sementara ahli ITB secara total USD10 juta jadi ada perbedaan USD5 juta," kata Alexander.
Jakarta: Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) Alexander Marwata mengakui penahanan tersangka kasus korupsi
Richard Joost Lino (RJL) memakan waktu sangat lama karena keterbatasan dokumen. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membutuhkan dokumen penjualan Quay Container Crane (QCC) dari HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd (HDHM), Tiongkok, untuk menghitung kerugian negara.
"Kendalanya memang dari perhitungan kerugian negara, di mana BPK meminta agar ada dokumen," kata Alexander dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 26 Maret 2021.
Alexander menyebut KPK sudah berupaya meminta data itu melalui kedutaan Tiongkok. Pihak inspektorat dari Tiongkok sempat menyambangi KPK untuk membantu.
"Kami sampaikan bahwa kami membutuhkan berapa sih sesungguhnya harga QCC tersebut yang dijual PT HDHM," papar dia.
Bahkan, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo dan mantan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif sempat berangkat ke Tiongkok pada 2018. Mereka dijanjikan bertemu perwakilan menteri atau jaksa agung Tiongkok.
(Baca:
5 Tahun Lebih Berproses, Begini Duduk Perkara Kasus RJ Lino)
"Tapi pada saat terakhir ketika mau bertemu, (pertemuan) dibatalkan," ujar Alexander.
Lembaga Antirasuah terhimpit di tengah-tengah. BPK meminta dokumen harga QCC, sementara penyidik KPK kesulitan mendapat harga QCC dari HDHM.
"Kalau misalnya (ada data) HDHM menjual ke negara lain, itu bisa dibandingkan sehingga bisa jadi dasar perhitungan negara," jelas dia.
Akhirnya, KPK menggunakan data ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menghitung harga pokok produksi QCC. Ahli ITB menggunakan metode nilai ganti (replacement cost) untuk merekonstruksi harga pokok QCC seandainya diproduksi sendiri.
"Terjadi selisih signifikan dari harga yang dibeli dari PT Pelindo II ke HDHM sebesar USD15 juta, sementara ahli ITB secara total USD10 juta jadi ada perbedaan USD5 juta," kata Alexander.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)