Jakarta: Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar Direktur Utama (Dirut) Pertamina Nicke Widyawati terkait jabatannya di PLN. Saat proyek PLTU Riau-I yang bermasalah dibahas, Nicke menjabat sebagai direktur perencanaan PLN.
"Tadi saya ditanya kurang lebih sama dengan yang ditanyakan sebelumnya sebagai mantan direktur di PLN itu saja," kata Nicke usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 2 Mei 2019.
Nicke diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Dirut PLN Sofyan Basir. Orang nomor satu di perusahaan pelat merah itu sejatinya juga pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang sama.
Saat itu, Nicke digarap penyidik KPK sebagai saksi untuk tersangka mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Menurut Nicke, materi pemeriksaannya kali ini tak berbeda jauh dengan sebelumnya.
"Sama dengan yang dulu (materinya). Kurang lebih sama," kata Nicke.
Sementara itu, nama Dirut Pertamina itu mencuat dalam persidangan tiga terpidana sebelumnya, Eni Maulani Saragih, Idrus Marham, dan Johannes Budisutrisno Kotjo. Nicke saat menjabat sebagai direktur perencanaan PT PLN disebut pernah menghadiri pertemuan pertama membahas proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-I di Hotel Fairmont Jakarta.
Pertemuan itu turut dihadiri oleh Eni, Sofyan, pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo, dan Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso. Nicke bersama Supangkat Iwan juga pernah dipanggil ke ruangan Sofyan.
Keduanya diperkenalkan dengan perwakilan China Huadian Engineering Company (CHEC). Perusahaan asal ‘Negeri Tirai Bambu’ itu yang menjadi investor dalam proyek senilai USD900 juta tersebut.
Sementara itu, keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara Rudi Herlambang mengirimkan surat ke PT PLN pada Oktober 2015. Dia memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Johannes sebagai pemilik PT Samantaka Batubara akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan terkait masalah ini kemudian diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Eni, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang ini.
Pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Pasalnya, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa. Saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan pembangunan infrastruktur kelistrikan (PIK) sejatinya belum terbit.
Baca: Kuasa Hukum Jamin Sofyan Basir Kooperatif
PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk RUPTL PLN. Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu direktur PT PLN merealisasikan power purchase agreement (PPA) antara PLN dengan BNR dan CHEC.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara, dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar Direktur Utama (Dirut) Pertamina Nicke Widyawati terkait jabatannya di PLN. Saat proyek PLTU Riau-I yang bermasalah dibahas, Nicke menjabat sebagai direktur perencanaan PLN.
"Tadi saya ditanya kurang lebih sama dengan yang ditanyakan sebelumnya sebagai mantan direktur di PLN itu saja," kata Nicke usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 2 Mei 2019.
Nicke diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Dirut PLN Sofyan Basir. Orang nomor satu di perusahaan pelat merah itu sejatinya juga pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang sama.
Saat itu, Nicke digarap penyidik KPK sebagai saksi untuk tersangka mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Menurut Nicke, materi pemeriksaannya kali ini tak berbeda jauh dengan sebelumnya.
"Sama dengan yang dulu (materinya). Kurang lebih sama," kata Nicke.
Sementara itu, nama Dirut Pertamina itu mencuat dalam persidangan tiga terpidana sebelumnya, Eni Maulani Saragih, Idrus Marham, dan Johannes Budisutrisno Kotjo. Nicke saat menjabat sebagai direktur perencanaan PT PLN disebut pernah menghadiri pertemuan pertama membahas proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-I di Hotel Fairmont Jakarta.
Pertemuan itu turut dihadiri oleh Eni, Sofyan, pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo, dan Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso. Nicke bersama Supangkat Iwan juga pernah dipanggil ke ruangan Sofyan.
Keduanya diperkenalkan dengan perwakilan China Huadian Engineering Company (CHEC). Perusahaan asal ‘Negeri Tirai Bambu’ itu yang menjadi investor dalam proyek senilai USD900 juta tersebut.
Sementara itu, keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara Rudi Herlambang mengirimkan surat ke PT PLN pada Oktober 2015. Dia memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Johannes sebagai pemilik PT Samantaka Batubara akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan terkait masalah ini kemudian diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Eni, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang ini.
Pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Pasalnya, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa. Saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan pembangunan infrastruktur kelistrikan (PIK) sejatinya belum terbit.
Baca: Kuasa Hukum Jamin Sofyan Basir Kooperatif
PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk RUPTL PLN. Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu direktur PT PLN merealisasikan
power purchase agreement (PPA) antara PLN dengan BNR dan CHEC.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara, dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP
juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)