Jakarta: Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengorek kejanggalan pelaksanaan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Riau-1 dalam persidangan dengan terdakwa mantan direktur utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir. Jaksa menggali keterangan dari Dirut PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), Iwan Agung Firstantara yang dihadirkan sebagai saksi.
Iwan mengaku PT PJB ditugasi oleh PT PLN, selaku pemegang saham, untuk menggarap proyek PLTU Riau-1. "Dalam penandatanganan HoA (Heads of Agreement), PJB sebagai pengembang.
Jadi dari PLN (Persero) menunjuk PJB untuk melaksanakannya (proyek PLTU Riau-1)," kata Iwan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Bungur Besar, Jakarta, Senin, 15 Juli 2019.
Dalam pelaksanaannya, PT PJB lalu menunjuk anak perusahaan PT PJB Investment untuk membentuk konsorsium dengan sejumlah pihak di antaranya Blackgold Natural Resources serta China Huadian Engineering Company Limited (CHECK, Ltd). Konsorisum itu yang akan menggarap proyek PLTU Riau-1.
Jaksa kemudian mengorek terkait proses administrasi pelaksanaan proyek di PLN. Terutama terkait pelaksanaan letter of intent (LoI).
"LoI itu seperti surat penunjukkan kepada konsorsium," jelas Iwan.
Jaksa mengatakan sebelum proses LoI, seharusnya terlebih dahulu dilakukan proses shareholder agreement, dan joint venture agreement. Setelah proses LoI selesai baru dilakukan Power Purchase Agreement (PPA).
(Baca juga: Saksi Beberkan Pertemuan Sofyan Basir dengan Eni dan Kotjo)
Namun, jaksa curiga lantaran Sofyan sudah menandatangani PPA sebelum proses shareholder agreement, joint venture agreement, dan LoI dilakukan. Jaksa kemudian mengonfirmasi kepada Iwan apakah dirinya tahu bahwa Sofyan sudah menandatangani PPA.
"Saya dengar (PPA sudah ditandatangani) tapi belum pernah lihat dokumenya," ujar Iwan.
Sofyan Basir didakwa memberikan fasilitas demi melancarkan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Ia berperan sebagai jembatan yang mempertemukan sejumlah pejabat untuk memuluskan proyek itu.
Sofyan disebut mempertemukan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo di tempat yang berbeda sejak 2016. Sofyan merayu ketiganya mempercepat proses kesepakatan proyek independent power producer (IPP) PLTU Riau-1 antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi dan BlackGold Natural Resources (BNR, Ltd) derta China Huadian Enginering Company Limited (CHEC, Ltd), perusahaan yang dibawa Kotjo.
Sofyan disebut secara sadar mengetahui Eni dan Idrus akan mendapatkan uang suap dari Kotjo. Eni dan Idrus menerima suap sebesar Rp4,7 miliar yang diberikan secara bertahap. Uang tersebut diberikan untuk mempercepat kesepatan proyek IPP PLTU Riau-1.
Atas bantuan Sofyan perusahaan Kotjo dapat jatah proyek PLTU Riau-1. Kotjo mendapatkan keuntungan Rp4,75 miliar atas permainan kotor tersebut.
Sofyan Basir didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.
Jakarta: Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengorek kejanggalan pelaksanaan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Riau-1 dalam persidangan dengan terdakwa mantan direktur utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir. Jaksa menggali keterangan dari Dirut PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), Iwan Agung Firstantara yang dihadirkan sebagai saksi.
Iwan mengaku PT PJB ditugasi oleh PT PLN, selaku pemegang saham, untuk menggarap proyek PLTU Riau-1. "Dalam penandatanganan HoA (Heads of Agreement), PJB sebagai pengembang.
Jadi dari PLN (Persero) menunjuk PJB untuk melaksanakannya (proyek PLTU Riau-1)," kata Iwan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Bungur Besar, Jakarta, Senin, 15 Juli 2019.
Dalam pelaksanaannya, PT PJB lalu menunjuk anak perusahaan PT PJB Investment untuk membentuk konsorsium dengan sejumlah pihak di antaranya Blackgold Natural Resources serta China Huadian Engineering Company Limited (CHECK, Ltd). Konsorisum itu yang akan menggarap proyek PLTU Riau-1.
Jaksa kemudian mengorek terkait proses administrasi pelaksanaan proyek di PLN. Terutama terkait pelaksanaan letter of intent (LoI).
"LoI itu seperti surat penunjukkan kepada konsorsium," jelas Iwan.
Jaksa mengatakan sebelum proses LoI, seharusnya terlebih dahulu dilakukan proses shareholder agreement, dan joint venture agreement. Setelah proses LoI selesai baru dilakukan Power Purchase Agreement (PPA).
(Baca juga:
Saksi Beberkan Pertemuan Sofyan Basir dengan Eni dan Kotjo)
Namun, jaksa curiga lantaran Sofyan sudah menandatangani PPA sebelum proses shareholder agreement, joint venture agreement, dan LoI dilakukan. Jaksa kemudian mengonfirmasi kepada Iwan apakah dirinya tahu bahwa Sofyan sudah menandatangani PPA.
"Saya dengar (PPA sudah ditandatangani) tapi belum pernah lihat dokumenya," ujar Iwan.
Sofyan Basir didakwa memberikan fasilitas demi melancarkan suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Ia berperan sebagai jembatan yang mempertemukan sejumlah pejabat untuk memuluskan proyek itu.
Sofyan disebut mempertemukan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo di tempat yang berbeda sejak 2016. Sofyan merayu ketiganya mempercepat proses kesepakatan proyek independent power producer (IPP) PLTU Riau-1 antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi dan BlackGold Natural Resources (BNR, Ltd) derta China Huadian Enginering Company Limited (CHEC, Ltd), perusahaan yang dibawa Kotjo.
Sofyan disebut secara sadar mengetahui Eni dan Idrus akan mendapatkan uang suap dari Kotjo. Eni dan Idrus menerima suap sebesar Rp4,7 miliar yang diberikan secara bertahap. Uang tersebut diberikan untuk mempercepat kesepatan proyek IPP PLTU Riau-1.
Atas bantuan Sofyan perusahaan Kotjo dapat jatah proyek PLTU Riau-1. Kotjo mendapatkan keuntungan Rp4,75 miliar atas permainan kotor tersebut.
Sofyan Basir didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)