Jakarta: Kejaksaan Agung (Kejagung) berkomitmen membuktikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada peristiwa Paniai, Papua pada 2014, di persidangan. Sidang perkara itu akan digelar di Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar dalam waktu dekat.
"Kita akan berusaha lah pasti untuk membuktikan," ujar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah saat dikonfimrasi, Kamis, 2 Mei 2022.
Kejagung telah menyeret seorang purnawirawan TNI berinisial IS sebagai tersangka. IS merupakan perwira penghubung pada Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai saat peristiwa terjadi 7-8 Desember 2014. Untuk menghadapi persidangan, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin telah menunjuk 34 jaksa dari Kejagung, Kejaksaan Tinggi Papua, dan Kejaksaan Negeri Makassar sebagai penuntut umum.
Febrie menyebut Direktur HAM Berat pada Jampidsus Erryl Prima Putra Agoes akan mengendalikan langsung perkara tersebut. "Waktu persidangan jadi tanggung jawab dia (Erryl) itu," katanya.
IS masih menjadi tersangka tunggal atas peristiwa yang menewaskan empat orang serta melukai 21 orang tersebut. Kejagung belum berencana membuka penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat lainnya. Kejagung masih menunggu persidangan peristiwa Paniai.
"Sementara ini tidak (ada penyidikan baru), makanya kita liat nanti proses persidangan," kata dia.
Ada 11 persitiwa HAM berat lain di samping Paniai yang diselediki Komnas HAM. Di antaranya peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998, kerusuhan Mei 1998, Wasior dan Wamena, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998, dan Talangsari 1989 Lampung.
Baca: Aktor Intelektual Pelanggaran HAM Berat Paniai Diharap Terbongkar di Persidangan
Kemudian, peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Simpang KKA Aceh, Jambu Keupok Aceh, pembunuhan dukun santet 1998, dan Rumoh Geudong 1989 Aceh.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, penyelesaian perkara Paniai bisa menjadi batu uji keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan perkara HAM lain di Papua. Sebab, seperti halnya Paniai, kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua hampir tidak memiliki aspek politik.
Temuan Amnesty terdahulu, kata Usman, menyimpulkan peristiwa pelanggaran HAM di Papua disebabkan karena penanganan demonstrasi oleh aparat yang berlebihan dan bertindak secara tidak profesional.
"Jadi saya kira kasus ini setidaknya bisa menjadi indikator pertama kesungguhan pemerintah uuntuk memperbaiki situasi HAM di Papua," tegas Usman.
Jakarta:
Kejaksaan Agung (Kejagung) berkomitmen membuktikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada
peristiwa Paniai, Papua pada 2014, di persidangan. Sidang perkara itu akan digelar di Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar dalam waktu dekat.
"Kita akan berusaha lah pasti untuk membuktikan," ujar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah saat dikonfimrasi, Kamis, 2 Mei 2022.
Kejagung telah menyeret seorang purnawirawan TNI berinisial IS sebagai tersangka. IS merupakan perwira penghubung pada Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai saat peristiwa terjadi 7-8 Desember 2014. Untuk menghadapi persidangan, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin telah menunjuk 34 jaksa dari Kejagung, Kejaksaan Tinggi Papua, dan Kejaksaan Negeri Makassar sebagai penuntut umum.
Febrie menyebut
Direktur HAM Berat pada Jampidsus Erryl Prima Putra Agoes akan mengendalikan langsung perkara tersebut. "Waktu persidangan jadi tanggung jawab dia (Erryl) itu," katanya.
IS masih menjadi tersangka tunggal atas peristiwa yang menewaskan empat orang serta melukai 21 orang tersebut. Kejagung belum berencana membuka penyidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat lainnya. Kejagung masih menunggu persidangan peristiwa Paniai.
"Sementara ini tidak (ada penyidikan baru), makanya kita liat nanti proses persidangan," kata dia.
Ada 11 persitiwa HAM berat lain di samping Paniai yang diselediki Komnas HAM. Di antaranya peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998, kerusuhan Mei 1998, Wasior dan Wamena, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998, dan Talangsari 1989 Lampung.
Baca:
Aktor Intelektual Pelanggaran HAM Berat Paniai Diharap Terbongkar di Persidangan
Kemudian, peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Simpang KKA Aceh, Jambu Keupok Aceh, pembunuhan dukun santet 1998, dan Rumoh Geudong 1989 Aceh.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, penyelesaian perkara Paniai bisa menjadi batu uji keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan perkara HAM lain di Papua. Sebab, seperti halnya Paniai, kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua hampir tidak memiliki aspek politik.
Temuan Amnesty terdahulu, kata Usman, menyimpulkan peristiwa pelanggaran HAM di Papua disebabkan karena penanganan demonstrasi oleh aparat yang berlebihan dan bertindak secara tidak profesional.
"Jadi saya kira kasus ini setidaknya bisa menjadi indikator pertama kesungguhan pemerintah uuntuk memperbaiki situasi HAM di Papua," tegas Usman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)