Jakarta: Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai perubahan pasal yang disangkakan kepada terdakwa Direktur Utama nonaktif PT PLN Sofyan Basir merupakan kewenangan mutlak sebagai penuntut umum. Sebelumnya, kuasa hukum Sofyan mempermasalahkan perbedaan pasal dalam surat perintah penyidikan dengan surat dakwaan dan dianggap telah melanggar KUHAP.
Dalam surat perintah penyidikan, Sofyan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat 2 KUHP Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sementara dalam dakwaan, Sofyan didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.
"Bahwa penuntut umum tidak sependapat dengan keberatan penasihat hukum (Sofyan Basir). Bahwa pembuatan surat dakwaan merupakan dominus litis (penguasa perkara) dari penuntut umum. Oleh karenanya, perumusannya diserahkan sepenuhnya kepada penuntut umum termasuk dalam menentukan pasal-pasal yang didakwakan terdakwa," ujar Jaksa Budi Sarumpaet di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 1 Juli 2019.
Untuk memperkuat tudingan dalam eksepsi Sofyan, jaksa membeberkan ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 1 angka 2, UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal itu menyebutkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Jaksa Budi menegaskan, pasal 15 bukan merupakan pasal yang memuat rumusan delik pembantuan. Namun, hanya merupakan ketentuan khusus mengenai pemberatan ancaman hukuman pidana pembantuan dalam tindak pidana korupsi.
"Alasan penasihat hukum yang menyatakan penuntut umum telah menerapkan pasal yang berbeda di dalam penyidikan dan penuntutan, sehingga surat dakwaan melanggar KUHAP dan UU sehingga menjadi tak cermat dan kabur adalah keliru dan tidak beralasan. Dengan demikian, alasan itu harus dinyatakan ditolak dan dikesampingkan," ucap Jaksa Budi.
(Baca juga: Jaksa Koreksi Tudingan Sofyan Basir soal Dakwaan Hanya Asumsi)
Sebelumnya, Kuasa Hukum Sofyan Basir, Soesilo Aribowo mengatakan, JPU dinilai berlebihan dengan menggunakan Pasal 15 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHP.
Menurut Soesilo, jika mengikuti pasal tersebut, maka seharusnya Sofyan sudah ikut membantu sebelum tindak pidana terjadi. Penerapan Pasal 56 ayat 2 KUHP tentang membantu melancarkan suap tak sesuai. Sofyan dinilai tidak tahu menahu terkait adanya suap tersebut.
Soesilo juga mempersoalkan inkonsistensi penuntut umum dalam mendakwakan pasal. Ini, kata dia, menjelaskan bahwa penuntut umum ragu dengan penetapan pasal terhadap kliennya.
Sofyan Basir didakwa memberikan fasilitas demi melancarkan suap PLTU Riau-1. Ia berperan sebagai jembatan yang mempertemukan sejumlah pejabat untuk memuluskan proyek itu.
Sofyan disebut mempertemukan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih; mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo di tempat yang berbeda sejak 2016. Sofyan merayu ketiganya mempercepat proses kesepakatan proyek independent power producer (IPP) PLTU Riau-1 antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi dengan BNR, Ltd dan China Huadian Enginering Compani Limited (CHEC, Ltd), perusahaan yang dibawa Kotjo.
Sofyan disebut secara sadar mengetahui Eni dan Idrus akan mendapatkan uang suap dari Kotjo. Eni dan Idrus menerima suap sebesar Rp4,7 miliar yang diberikan secara bertahap. Uang tersebut diberikan untuk mempercepat kesepatan proyek IPP PLTU Riau-1.
Atas bantuan Sofyan perusahaan Kotjo dapat jatah proyek PLTU Riau-1. Kotjo mendapatkan keuntungan Rp4,75 miliar atas permainan kotor tersebut.
Jakarta: Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai perubahan pasal yang disangkakan kepada terdakwa Direktur Utama nonaktif PT PLN Sofyan Basir merupakan kewenangan mutlak sebagai penuntut umum. Sebelumnya, kuasa hukum Sofyan mempermasalahkan perbedaan pasal dalam surat perintah penyidikan dengan surat dakwaan dan dianggap telah melanggar KUHAP.
Dalam surat perintah penyidikan, Sofyan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat 2 KUHP Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sementara dalam dakwaan, Sofyan didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.
"Bahwa penuntut umum tidak sependapat dengan keberatan penasihat hukum (Sofyan Basir). Bahwa pembuatan surat dakwaan merupakan
dominus litis (penguasa perkara) dari penuntut umum. Oleh karenanya, perumusannya diserahkan sepenuhnya kepada penuntut umum termasuk dalam menentukan pasal-pasal yang didakwakan terdakwa," ujar Jaksa Budi Sarumpaet di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 1 Juli 2019.
Untuk memperkuat tudingan dalam eksepsi Sofyan, jaksa membeberkan ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 1 angka 2, UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal itu menyebutkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Jaksa Budi menegaskan, pasal 15 bukan merupakan pasal yang memuat rumusan delik pembantuan. Namun, hanya merupakan ketentuan khusus mengenai pemberatan ancaman hukuman pidana pembantuan dalam tindak pidana korupsi.
"Alasan penasihat hukum yang menyatakan penuntut umum telah menerapkan pasal yang berbeda di dalam penyidikan dan penuntutan, sehingga surat dakwaan melanggar KUHAP dan UU sehingga menjadi tak cermat dan kabur adalah keliru dan tidak beralasan. Dengan demikian, alasan itu harus dinyatakan ditolak dan dikesampingkan," ucap Jaksa Budi.
(Baca juga:
Jaksa Koreksi Tudingan Sofyan Basir soal Dakwaan Hanya Asumsi)
Sebelumnya, Kuasa Hukum Sofyan Basir, Soesilo Aribowo mengatakan, JPU dinilai berlebihan dengan menggunakan Pasal 15 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHP.
Menurut Soesilo, jika mengikuti pasal tersebut, maka seharusnya Sofyan sudah ikut membantu sebelum tindak pidana terjadi. Penerapan Pasal 56 ayat 2 KUHP tentang membantu melancarkan suap tak sesuai. Sofyan dinilai tidak tahu menahu terkait adanya suap tersebut.
Soesilo juga mempersoalkan inkonsistensi penuntut umum dalam mendakwakan pasal. Ini, kata dia, menjelaskan bahwa penuntut umum ragu dengan penetapan pasal terhadap kliennya.
Sofyan Basir didakwa memberikan fasilitas demi melancarkan suap PLTU Riau-1. Ia berperan sebagai jembatan yang mempertemukan sejumlah pejabat untuk memuluskan proyek itu.
Sofyan disebut mempertemukan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih; mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo di tempat yang berbeda sejak 2016. Sofyan merayu ketiganya mempercepat proses kesepakatan proyek independent power producer (IPP) PLTU Riau-1 antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi dengan BNR, Ltd dan China Huadian Enginering Compani Limited (CHEC, Ltd), perusahaan yang dibawa Kotjo.
Sofyan disebut secara sadar mengetahui Eni dan Idrus akan mendapatkan uang suap dari Kotjo. Eni dan Idrus menerima suap sebesar Rp4,7 miliar yang diberikan secara bertahap. Uang tersebut diberikan untuk mempercepat kesepatan proyek IPP PLTU Riau-1.
Atas bantuan Sofyan perusahaan Kotjo dapat jatah proyek PLTU Riau-1. Kotjo mendapatkan keuntungan Rp4,75 miliar atas permainan kotor tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)