Ilustrasi Medcom.id.
Ilustrasi Medcom.id.

Ahli Sebut Uji Formil Hanya Seperti Uji Ceklis

Indriyani Astuti • 17 November 2022 15:11
Jakarta: Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti menyebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah mengabaikan partisipasi masyarakat terdampak dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3). 
 
Menurutnya revisi UU P3 sekadar mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja cacat formil.
 
"Ketergesa-gesaan proses (revisi UU P3) karena pembuat undang-undang ingin memenuhi tenggat waktu yang diberikan Mahkamah dalam putusan UU Cipta Kerja yang tinggal satu tahun lagi. Sehingga ada target undang-undang Cipta Kerja harus jalan. Partisipasi yang dilakukan hanya untuk memenuhi daftar ceklis saja," tutur Bivitri sebagai ahli dari pemohon dalam sidang Perkara No.82/PUU-XX/2022 uji formil UU P3 terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis, 17 November 2022.

Pada putusan Nomor No. 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil karena pembentukannya tidak sesuai dengan UU P3. Kemudian pemerintah dan DPR RI merevisi UU P3 tersebut. Bivitri menjelaskan seharusnya pengujian formil, tidak hanya berdasarkan prosedur yang ditentukan oleh teks undang-undang, melainkan harus melihat konteks politik hukum undang-undang.
 
Menurutnya dalam revisi UU P3, terlihat tujuan politik hukum pembuat undang-undang tidak untuk menjadikan proses legislasi lebih baik, melainkan segera melaksanakan Putusan MK No.91/2020 tentang UU Cipta Kerja. Pembuat undang-undang, ujar Bivitri, hanya menghadirkan ahli yang diklaim dapat memenuhi partisipasi masyarakat pada proses pembahasan revisi UU P3. 
 
Hal itu menurutnya menjadikan partisipasi hanya formalitas belaka. Adapun persyaratan dalam pembentukan perundang-undangan seperti hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan penjelasan tidak terpenuhi dengan baik.
 
"Bagaimana ketiga hak ini dipenuhi hanya dengan mendengarkan pendapat narasumber seperti halnya seminar biasa. Tidak ada partisipasi masyarakat terdampak," tutur Bivitri.
 

Baca juga: UU Papua Barat Daya Disahkan, Ini Tahapan Terbitkan Perppu Pemilu


 
Senada, Ahli pemohon lainnya yakni Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Tengah Eko Aan Widiarto mengatakan prasyarat dalam tahap pengajuan rancangan revisi UU P3 telah terpenuhi yaitu naskah akademik dapat diakses oleh masyarakat melalui laman DPR RI. Namun, mengenai hak untuk dipertimbangkan, ia memandang itu belum terpenuhi.
 
"Ahli memandang belum ditemukan data dari keterangan DPR bahwa ada pemenuhan hak pendapat masyarakat untuk dipertimbangkan. Itu tidak disajikan dalam keterangan DPR," paparnya.
 
Uji formil UU P3 dimohonkan oleh Pemohon yaitu Ismail Hasani, Laurensius Arliman, Bayu Satria Utomo, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Senin (5/9/2022) menilai revisi kedua UU P3 tidak memenuhi syarat sebagai RUU kumulatif terbuka. 
 
Sebab, UU tersebut bukanlah suatu bentuk tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 karena putusan tersebut sama sekali tidak menyebutkan UU P3 bertentangan dengan UUD 1945. Hal yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja yang bermasalah, di antaranya, Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pasal 72 ayat (1) huruf a, Pasal 73 ayat (1), Pasal 96 ayat (3).
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan