Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati - Medcom.id/Juven Martua Sitompul.
Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati - Medcom.id/Juven Martua Sitompul.

KPK Korek Keterlibatan Bos Pertamina di Korupsi PLTU Riau-1

Juven Martua Sitompul • 10 Juni 2019 14:02
Jakarta: Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merampungkan pemeriksaan pada Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati. Nicke diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-I yang menjerat Direktur Utama nonaktif PLN Sofyan Basir.
 
Nicke mengaku tak ada hal baru yang dikonfirmasi penyidik dari pemeriksaannya hari ini. Penyidik lebih banyak mencecar Nicke terkait kewenangannya sebagai Direktur Perencanaan PT PLN.
 
"Pemeriksaannya hampir sama dengan yang dulu, ditanya seputar tupoksi (tugas pokok dan fungsi) sebagai direktur perencanaan," kata Nicke di Gedung KPK, Jakarta, Senin, 10 Juni 2019.

Saat PLTU Riau-I dibahas, Nicke masih menjabat sebagai direktur perencanaan PT PLN. Nicke disebut pernah menghadiri pertemuan pertama untuk membahas proyek PLTU Riau-I di Hotel Fairmont Jakarta.
 
Nicke menolak berkomentar dan buru-buru meninggalkan markas Lembaga Antirasuah saat disinggung pertemuan itu. "Makasih banyak ya," ujar dia. 
 
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PT PLN (Persero) surat, pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
 
(Baca juga: KPK Dalami Bagi-Bagi Fee PLTU Riau-I Lewat Sofyan)
 
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Bos Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
 
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
 
Selanjutnya pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
 
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
 
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.
 
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
 
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan