Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan indikasi dugaan tindak pidana dalam kasus kerangkeng manusia milik Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Ada tujuh dugaan tindak pidana dalam kasus tersebut.
"Yakni perdagangan orang, kekerasan terhadap anak, penyiksaan/penganiayaan berat, pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penistaan agama, dan kecelakaan kerja," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo melalui keterangan tertulis, dikutip dari Antara, Kamis, 10 Maret 2022.
Ia mengatakan data dan fakta tersebut diperoleh LPSK selama penelaahan sejak 27 Januari hingga 5 Maret 2021 terhadap Terbit Rencana Perangin Angin. LPSK juga menelaah pelaku lainnya yang diduga ikut terlibat.
"Kendati proses hukum sejak ditemukannya kerangkeng manusia di Langkat sudah lebih dari satu bulan, akan tetapi hingga kini belum ada progres berarti," ujar Hasto.
Hasto mengatakan Terbit Rencana merupakan pelaku yang memiliki basis massa dari organisasi kemasyarakatan (ormas) yang digawanginya. Selain itu, ia juga memiliki kekuatan harta.
LPSK menilai perbudakan manusia terjadi bukan hanya karena modus operandi eksploitasi berbasis keuntungan material. Namun, mereka yang tahu dan berwenang, tidak mau mengambil tindakan akibat pengaruh dan kuasa local strongman atau orang kaya yang melakukan kontrol sosial.
Baca: Polisi Terlibat Kasus Kerangkeng Manusia Bupati Nonaktif Langkat Diminta Dipidana
LPSK berharap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membentuk tim khusus terkait kasus ini. Tim terdiri atas kementerian dan lembaga untuk memastikan proses hukum ditindaklanjuti secara profesional dan tuntas.
"Tentu dengan memerhatikan pemenuhan hak korban termasuk memastikan tidak ada praktik yang sama di wilayah lainnya," ujar dia.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan Terbit Rencana yang menjabat sebagai kepala daerah tidak memiliki kewenangan melekat untuk menahan manusia dalam sebuah kerangkeng. Hasil investigasi dan penelaahan LPSK, Terbit Rencana diduga dibantu anggota keluarganya, oknum anggota ormas, dan beberapa oknum TNI serta Polri.
Hal tersebut sudah cukup memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Korban yang dikurung dalam kerangkeng dipaksa bekerja di pabrik perkebunan sawit dan penyediaan pakan ternak milik Terbit Rencana Perangin Angin.
Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (
LPSK) menemukan indikasi dugaan tindak pidana dalam kasus
kerangkeng manusia milik Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Ada tujuh dugaan tindak pidana dalam kasus tersebut.
"Yakni perdagangan orang, kekerasan terhadap anak, penyiksaan/penganiayaan berat, pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penistaan agama, dan kecelakaan kerja," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo melalui keterangan tertulis, dikutip dari
Antara, Kamis, 10 Maret 2022.
Ia mengatakan data dan fakta tersebut diperoleh LPSK selama penelaahan sejak 27 Januari hingga 5 Maret 2021 terhadap Terbit Rencana Perangin Angin. LPSK juga menelaah pelaku lainnya yang diduga ikut terlibat.
"Kendati proses hukum sejak ditemukannya kerangkeng manusia di Langkat sudah lebih dari satu bulan, akan tetapi hingga kini belum ada progres berarti," ujar Hasto.
Hasto mengatakan Terbit Rencana merupakan pelaku yang memiliki basis massa dari organisasi kemasyarakatan (ormas) yang digawanginya. Selain itu, ia juga memiliki kekuatan harta.
LPSK menilai
perbudakan manusia terjadi bukan hanya karena modus operandi eksploitasi berbasis keuntungan material. Namun, mereka yang tahu dan berwenang, tidak mau mengambil tindakan akibat pengaruh dan kuasa local strongman atau orang kaya yang melakukan kontrol sosial.
Baca:
Polisi Terlibat Kasus Kerangkeng Manusia Bupati Nonaktif Langkat Diminta Dipidana
LPSK berharap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membentuk tim khusus terkait kasus ini. Tim terdiri atas kementerian dan lembaga untuk memastikan proses hukum ditindaklanjuti secara profesional dan tuntas.
"Tentu dengan memerhatikan pemenuhan hak korban termasuk memastikan tidak ada praktik yang sama di wilayah lainnya," ujar dia.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan Terbit Rencana yang menjabat sebagai kepala daerah tidak memiliki kewenangan melekat untuk menahan manusia dalam sebuah kerangkeng. Hasil investigasi dan penelaahan LPSK, Terbit Rencana diduga dibantu anggota keluarganya, oknum anggota ormas, dan beberapa oknum TNI serta Polri.
Hal tersebut sudah cukup memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Korban yang dikurung dalam kerangkeng dipaksa bekerja di pabrik perkebunan sawit dan penyediaan pakan ternak milik Terbit Rencana Perangin Angin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)