Jakarta: Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tak yakin Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) bakal menindaklanjuti laporan terkait kematian enam laskar ormas Front Pembela Islam (FPI). ICC hanya bisa mengadili perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia berat atau gross violations of human rights sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma.
"Yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi," kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, melalui keterangan tertulis yang diterima, Minggu, 31 Januari 2021.
Selain itu, tambah Poengky, ICC juga biasanya tak mau menerima perkara kejahatan yang tengah diadili oleh negara bersangkutan (exhausted domestic remedy). ICC baru akan masuk saat peradilan di negara bersangkutan tidak mau melaksanakan tugas-tugasnya untuk mengadili perkara (unwilling and unable).
"ICC tidak akan mau menangani perkara yang akan, sedang, atau telah ditangani oleh sistem peradilan pidana di negara yang bersangkutan," kata dia.
Ditambah, yang bisa beperkara merupakan anggota ICC. "Indonesia bukan anggota ICC, sehingga tidak bisa diadukan ke ICC," kata penyandang gelar master untuk Internasional Human Rights law ini.
Maka dari itu, kata dia, langkah tim advokasi melaporkan kematian enam orang laskar FPI ke ICC tidak tepat. "Berdasarkan laporan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), sudah jelas bahwa kasus ini bukan pelanggaran HAM berat. Sehingga, tidak termasuk yurisdiksi ICC," ujar Poengky.
Baca: ASN Dilarang Terlibat HTI hingga FPI
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menuturkan ICC dibangun sebagai badan komplementer untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma.
"Mahkamah Internasional (ICC) bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara. Dengan begitu, ICC baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi unable dan unwilling," ujar Damanik seperti dilansir dari Antara.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara juga yakin upaya tim hukum FPI membawa kasus kematian laskar ke ICC bakal menemui jalan buntu. Sebab, Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, yakni perjanjian antarnegara di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk pada 17 Juli 1998.
Beka menilai langkah terbaik menyelesaikan masalah kematian enam laskar FPI yakni di Polri. Apalagi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berjanji akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM, yakni kasus tewasnya enam laskar FPI dilanjutkan ke pengadilan pidana.
Jakarta: Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tak yakin Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) bakal menindaklanjuti laporan terkait kematian enam laskar ormas
Front Pembela Islam (FPI). ICC hanya bisa mengadili perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia berat atau
gross violations of human rights sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma.
"Yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi," kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, melalui keterangan tertulis yang diterima, Minggu, 31 Januari 2021.
Selain itu, tambah Poengky, ICC juga biasanya tak mau menerima perkara kejahatan yang tengah diadili oleh negara
bersangkutan (
exhausted domestic remedy). ICC baru akan masuk saat peradilan di negara bersangkutan tidak mau melaksanakan tugas-tugasnya untuk mengadili perkara (
unwilling and unable).
"ICC tidak akan mau menangani perkara yang akan, sedang, atau telah ditangani oleh sistem peradilan pidana di negara yang bersangkutan," kata dia.
Ditambah, yang bisa beperkara merupakan anggota ICC. "Indonesia bukan anggota ICC, sehingga tidak bisa diadukan ke ICC," kata penyandang gelar master untuk Internasional Human Rights law ini.
Maka dari itu, kata dia, langkah tim advokasi melaporkan kematian enam orang laskar FPI ke ICC tidak tepat. "Berdasarkan laporan Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), sudah jelas bahwa kasus ini bukan pelanggaran HAM berat. Sehingga, tidak termasuk yurisdiksi ICC," ujar Poengky.
Baca:
ASN Dilarang Terlibat HTI hingga FPI
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menuturkan ICC dibangun sebagai badan komplementer untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma.
"Mahkamah Internasional (ICC) bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara. Dengan begitu, ICC baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi
unable dan unwilling," ujar Damanik seperti dilansir dari
Antara.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara juga yakin upaya tim hukum FPI membawa kasus kematian laskar ke ICC bakal menemui jalan buntu. Sebab, Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, yakni perjanjian antarnegara di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk pada 17 Juli 1998.
Beka menilai langkah terbaik menyelesaikan masalah kematian enam laskar FPI yakni di Polri. Apalagi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berjanji akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM, yakni kasus tewasnya enam laskar FPI dilanjutkan ke pengadilan pidana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)