medcom.id, Jakarta: Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS) Ridwan Darmawan menilai, perekrutan hakim konstitusi perlu dievaluasi pascapenangkapan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Calon hakim konstitusi harus betul-betul diteropong dari berbagai aspek.
"Rekam jejaknya baik dari segi keilmuan, segi kesehatan, maupun track record calon, terutama soal asal pejabat negara tersebut harus dievaluasi. Kalau untuk calon anggota KPU saja disertakan syarat harus bukan lagi anggota partai politik selama 5 tahun, tentu saja hakim MK harus lebih dari itu," kata Ridwan, Minggu (29/1/2017).
Menurut dia, korupsi di dalam hukum international telah masuk dalam kategori kejahatan luar biasa, hostis humanis generis, dan musuh umat manusia. Yang menarik, kata dia, penangkapan Patrialis dilakukan beberapa jam setelah MK memutus perkara pungujian Undang-Undang Tipikor.
Uji materi ini diajukan tujuh PNS dari tujuh provinsi yang berstatus sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi. Mereka mempersoalkan frasa "dapat" dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
"MK mengabulkan permohonan mereka dengan menyatakan bahwa unsur kerugian negara dalam penindakan kasus korupsi harus bersifat actual loss, bukan potential loss," ucap Ridwan.
Dia menilai, hal itu jelas makin menghambat upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Lebih menarik lagi, kata dia, putusan MK itu mengoreksi putusan MK sebelumnya yang menyatakan kerugian negara tidak harus actual loss dan putusan ini diwarnai dissenting opinion oleh empat hakim MK.
Ridwan pun menekankan, jika Patrialis Akbar terbukti menerima suap, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat luar biasa. Peristiwa ini merupakan tamparan keras bagi seluruh komponen bangsa.
"Peristiwa ini menurut saya malapetaka besar bagi negeri ini, melakukan kejahatan luar biasa, korupsi. Kejahatan tersebut masuk dalam kategori extraordinary crime," kata Ridwan.
?Baca: Patrialis Akbar: Demi Allah, Saya Betul-betul Dizalimi
Patrialis ditangkap terkait uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitain menjelaskan, operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Patrialis dilakukan bersumber dari laporan masyarakat.
Dalam penangkapan pada Rabu, 25 Januari, KPK mengamankan 11 orang dari tiga lokasi yang berbeda. Mereka di antaranya: Patrialis Akbar, pihak swasta bernama Basuki Hariman, karyawan Basuki bernama NG Fenny, dan Kamaludin dari pihak swasta.
"BHR (Basuki Hariman) ini punya sekitar 20 perusahaan yang bergerak di bidang impor daging," jelas Basaria.
Basaria menjelaskan, Basuki dan Fenny diduga mendekati Patrialis melalui Kamaludin agar bisnis impor daging dapat lebih lancar. "Setelah melakukan pembicaraan, PAK (Patrialis Akbar) menyanggupi membantu agar permohonan uji materiil Nomor 129/PUU-XII/2015 itu dapat dikabulkan MK," kata Basaria.
Patrialis diduga menerima USD20.000 dan SGD200.000. Dalam OTT, KPK pun telah mengamankan dokumen pembukuan perusahaan, voucher pembelian mata uang asing, dan draf perkara nomor 129 tersebut.
Patrilis dan Kamaludin pun ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Keduanya disangkakan Pasal 12 Huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Basuki dan Fenny diduga sebagai pemberi suap. Mereka disangkakan melanggar Pasal 6 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (Antara)
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/5b27LEek" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS) Ridwan Darmawan menilai, perekrutan hakim konstitusi perlu dievaluasi pascapenangkapan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Calon hakim konstitusi harus betul-betul diteropong dari berbagai aspek.
"Rekam jejaknya baik dari segi keilmuan, segi kesehatan, maupun
track record calon, terutama soal asal pejabat negara tersebut harus dievaluasi. Kalau untuk calon anggota KPU saja disertakan syarat harus bukan lagi anggota partai politik selama 5 tahun, tentu saja hakim MK harus lebih dari itu," kata Ridwan, Minggu (29/1/2017).
Menurut dia, korupsi di dalam hukum international telah masuk dalam kategori kejahatan luar biasa,
hostis humanis generis, dan musuh umat manusia. Yang menarik, kata dia, penangkapan Patrialis dilakukan beberapa jam setelah MK memutus perkara pungujian Undang-Undang Tipikor.
Uji materi ini diajukan tujuh PNS dari tujuh provinsi yang berstatus sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi. Mereka mempersoalkan frasa "dapat" dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
"MK mengabulkan permohonan mereka dengan menyatakan bahwa unsur kerugian negara dalam penindakan kasus korupsi harus bersifat
actual loss, bukan
potential loss," ucap Ridwan.
Dia menilai, hal itu jelas makin menghambat upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Lebih menarik lagi, kata dia, putusan MK itu mengoreksi putusan MK sebelumnya yang menyatakan kerugian negara tidak harus
actual loss dan putusan ini diwarnai
dissenting opinion oleh empat hakim MK.
Ridwan pun menekankan, jika Patrialis Akbar terbukti menerima suap, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat luar biasa. Peristiwa ini merupakan tamparan keras bagi seluruh komponen bangsa.
"Peristiwa ini menurut saya malapetaka besar bagi negeri ini, melakukan kejahatan luar biasa, korupsi. Kejahatan tersebut masuk dalam kategori extraordinary crime," kata Ridwan.
?Baca: Patrialis Akbar: Demi Allah, Saya Betul-betul Dizalimi
Patrialis ditangkap terkait uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitain menjelaskan, operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Patrialis dilakukan bersumber dari laporan masyarakat.
Dalam penangkapan pada Rabu, 25 Januari, KPK mengamankan 11 orang dari tiga lokasi yang berbeda. Mereka di antaranya: Patrialis Akbar, pihak swasta bernama Basuki Hariman, karyawan Basuki bernama NG Fenny, dan Kamaludin dari pihak swasta.
"BHR (Basuki Hariman) ini punya sekitar 20 perusahaan yang bergerak di bidang impor daging," jelas Basaria.
Basaria menjelaskan, Basuki dan Fenny diduga mendekati Patrialis melalui Kamaludin agar bisnis impor daging dapat lebih lancar. "Setelah melakukan pembicaraan, PAK (Patrialis Akbar) menyanggupi membantu agar permohonan uji materiil Nomor 129/PUU-XII/2015 itu dapat dikabulkan MK," kata Basaria.
Patrialis diduga menerima USD20.000 dan SGD200.000. Dalam OTT, KPK pun telah mengamankan dokumen pembukuan perusahaan, voucher pembelian mata uang asing, dan draf perkara nomor 129 tersebut.
Patrilis dan Kamaludin pun ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Keduanya disangkakan Pasal 12 Huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Basuki dan Fenny diduga sebagai pemberi suap. Mereka disangkakan melanggar Pasal 6 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (Antara)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(OGI)