Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. Medcom.id.
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. Medcom.id.

MK Kembali Tolak Permohonan Perkawinan Beda Agama

Indriyani Astuti • 31 Januari 2023 14:05
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak permohonan pengujian materiel pasal-pasal terkait dengan keabsahan dan pencatatan perwkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945. MK menegaskan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
 
Seorang warga negara Indonesia, E. Ramos Petege, mendalilkan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 8 huruf f dalam UU Perkawinan melarang perkawinan pasangan yang berbeda agama, termasuk pencatatan, sama saja negara memaksa warganya dengan hanya memperbolehkan perkawinan seagama. Dalam sidang perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 itu, MK menegaskan pasal-pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945.
 
“Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 8 huruf f UU No.1/1974 telah sesuai dengan UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan pertimbangan Mahkamah dalam sidang pembacaan putusan di ruang pleno MK, Jakarta, Selasa, 31 Januari 2023.

Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah, tegas Mahkamah, sebagaimana UU Perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
 
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan Mahkamah telah secara jelas dan tengah menjawab bahwa mengenai keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan. Peran negara menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi keagamaan tersebut.
 

Baca Juga: Bantah Sahkan Pernikahan Beda Agama, PN Tangerang: Nikahnya di Singapura


Mahkamah berpandangan pihak yang membuat penafsiran perkawinan beda agama tetap pemuka agama. Perkawinan yang sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
 
Adapun pencatatan perkawinan yang dilakukan negara, sambung Wahiduddin, merupakan adminitratif kependudukan, sedangkan sahnya perkawinan, negara menyerahkan pada masing-masing agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, Mahkamah berpandangan tidak menemukan adanya perubahan dan kondisi perkembangan baru terkait persoalan konstitusionalitas keabsahan dalam pencatatan perkawinan, sehingga tidak ada urgensi bagi Mahkamah untuk bergeser dari putusan-putusan sebelumnya.
 
Mahkamah tetap pada pendiriannya seperti pada putusan No MK No.46/PUU-VIII/2010 dan putusan No.68/PUU-XIII/2014 mengenai keabsahan dan pencatatan perkawinan beda agama.
 
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman.
 
Pada putusan tersebut terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki perbedaan alasan (concurring opinion), yakni Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh. Suhartoyo dan Daniel beralasan akan lebih tegas apabila Mahkamah mengembalikan masalah terkait perkawinan beda agama dan penghayat kepercayaan, pada pembuat undang-undang atau menjadi kebijakan hukum terbuka pembuat undang-undang untuk merevisi UU Perkawinan yang dibuat sejak 1974.
 
Menurut Suhartoyo, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, menimbulkan ambiguitas karena tidak ditegaskan pencatatan perkawinan yang dimaksud. Dia menyoroti data yang dihimpun berdasarkan Indonesia Conferense on Religion and Peace bahwa terdapat 1425 pasangan beda agama yang melangsungkan perkawinan di Indonesia.
 
“Ini menunjukkan ada banyak penyelundupan hukum,” ucap Suhartoyo.
 
Dia mencontohkan penyelundupan hukum yang dimaksud antara lain melangsungkan perkawinan di luar negeri, kemudian mencatatkan ke dinas kependudukan dan catatan sipil, melakukan manipulasi agama dengan melakukan perpindahan agama sementara salah satu pasangan dalam rangka mendapatkan surat/akta kawin, mengajukan permohonan penetapan pengadilan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Fenomena tersebut, terang dia, terjadi seolah-olah terjadi karena kurangnya atensi negara yang mengakui dan menganggap tidak sah secara agama.
 
“Seyogianya negara hadir untuk menyelesaikan peramasalahan terkait melalui perubahan UU Perkawinan yang dibuat pada 1974 kondisi sosial masyarakat belum sekompleks ini,” tutur Suhartoyo.
 
Oleh karena itu, menurut dia, negara perlu mempertimbangkan agar jika dilakukan revisi terhadap UU Perkawinan, perlu mengakomodir fenomena perkawinan beda agama dan tata cara pencatatannya secara bijak. Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh memiliki alasan agar penghayat kepercayaan berhak mendapat buku nikah atau akta nikah penghayat kepercayaan.
 
“Negara harus hadir dalam pencatatan perkawinan warga negara. Selain untuk melindungi pasangan beda agama atau penghayat kepercayaan juga melindungi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut,” ucap dia.
 
Dia merasa dengan dikembalikan pada pembuat UU yakni DPR dan pemerintah bisa menata ulang pasal-pasal dalam UU Perkawinan sehingga lebih humanis mengakomodir berbagai kepentingan dan lebih bisa memberikan perlindungan bagi warga negara.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan