Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa tersangka sekaligus Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Andreau Pribadi Misanta, pada Jumat, 5 Maret 2021. Lembaga Antikorupsi itu mendalami aset milik Andreau.
"Tim penyidik KPK masih terus mendalami dugaan kepemilikan berbagai aset milik yang bersangkutan," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Sabtu, 6 Maret 2021.
Ali mengatakan pihaknya masih sibuk memisahkan harta milik Andreau yang diduga dibeli dengan uang hasil suap ekspor benih lobster. Lembaga Antikorupsi itu bakal menindak semua harta Andreau yang dibeli pakai uang korupsi sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Juga didalami aliran sejumlah dana ke berbagai pihak, yang mana sumber uang untuk pembelian aset-aset tersebut diduga dari kumpulan para eksportir yang mendapatkan ekspor di Kementerian Kelautan dan Perikanan," ujar Ali.
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Baca: KPK Usut Uang Pembelian Material Pembangunan Rumah Edhy Prabowo
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100 ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Edhy dan lima orang lainnya disangkakan pasal penerimaan suap. Mereka dijerat Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Suharjito dijerat pasal pemberi suap. Dia diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa tersangka sekaligus Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo, Andreau Pribadi Misanta, pada Jumat, 5 Maret 2021. Lembaga Antikorupsi itu mendalami aset milik Andreau.
"Tim penyidik KPK masih terus mendalami dugaan kepemilikan berbagai aset milik yang bersangkutan," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Sabtu, 6 Maret 2021.
Ali mengatakan pihaknya masih sibuk memisahkan harta milik Andreau yang diduga dibeli dengan uang hasil suap ekspor benih lobster. Lembaga Antikorupsi itu bakal menindak semua harta Andreau yang dibeli pakai uang
korupsi sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Juga didalami aliran sejumlah dana ke berbagai pihak, yang mana sumber uang untuk pembelian aset-aset tersebut diduga dari kumpulan para eksportir yang mendapatkan ekspor di Kementerian Kelautan dan Perikanan," ujar Ali.
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai
tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Baca: KPK Usut Uang Pembelian Material Pembangunan Rumah Edhy Prabowo
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100 ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Edhy dan lima orang lainnya disangkakan pasal penerimaan suap. Mereka dijerat Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Suharjito dijerat pasal pemberi suap. Dia diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)