Jakarta: Ketua Setara Institute Hendardi menilai kelompok teroris kembali muncul bukan tanpa sebab. Mereka berani muncul lantaran masyarakat kurang waspada terhadap aktivitas di lingkungannya.
"Eksistensi kelompok teroris ini dimungkinkan karena mengendurnya kepekaan dan melemahnya partisipasi masyarakat," kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Kamis, 1 April 2021.
Aktivis hak asasi manusia (HAM) itu menyebut kepekaan itu kian meredup lantaran beredarnya narasi yang mendelegitimasi tindakan polisi terhadap teroris. Bahkan, ada narasi yang mengatakan terorisme sebagai konspirasi atau rekayasa.
"Padahal, jejaring itu nyata dan keberadaan mereka membahayakan jiwa masyarakat," papar dia.
Baca: Pascapenyerangan Mabes Polri, Polda Jateng Tak Segan Tembak Orang Mencurigakan
Menurut dia, bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, dan penyerangan Mabes Polri, Jakarta Selatan, memiliki kesamaan. Pelaku bertindak cenderung seorang diri atau lone wolf, meski tergabung dalam jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
"Strategi tersebut memungkinkan siapa saja menjadi aktor teroris," ujar Hendardi.
Dia mendorong masyarakat dan kepolisian terus meningkatkan kewaspadaan. Pasalnya, JAD juga memanfaatkan cepatnya perkembangan teknologi untuk menyebar radikalisme.
"Dengan menyasar kelompok spesifik untuk menjadi intoleran aktif, radikal, jihadis, dan melalukan amaliah teror," tutur Hendardi.
Jakarta: Ketua Setara Institute Hendardi menilai kelompok
teroris kembali muncul bukan tanpa sebab. Mereka berani muncul lantaran masyarakat kurang waspada terhadap aktivitas di lingkungannya.
"Eksistensi kelompok
teroris ini dimungkinkan karena mengendurnya kepekaan dan melemahnya partisipasi masyarakat," kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Kamis, 1 April 2021.
Aktivis hak asasi manusia (HAM) itu menyebut kepekaan itu kian meredup lantaran beredarnya narasi yang mendelegitimasi tindakan polisi terhadap
teroris. Bahkan, ada narasi yang mengatakan terorisme sebagai konspirasi atau rekayasa.
"Padahal, jejaring itu nyata dan keberadaan mereka membahayakan jiwa masyarakat," papar dia.
Baca:
Pascapenyerangan Mabes Polri, Polda Jateng Tak Segan Tembak Orang Mencurigakan
Menurut dia, bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, dan penyerangan Mabes Polri, Jakarta Selatan, memiliki kesamaan. Pelaku bertindak cenderung seorang diri atau
lone wolf, meski tergabung dalam jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
"Strategi tersebut memungkinkan siapa saja menjadi aktor teroris," ujar Hendardi.
Dia mendorong masyarakat dan kepolisian terus meningkatkan kewaspadaan. Pasalnya, JAD juga memanfaatkan cepatnya perkembangan teknologi untuk menyebar radikalisme.
"Dengan menyasar kelompok spesifik untuk menjadi intoleran aktif, radikal, jihadis, dan melalukan amaliah teror," tutur Hendardi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)