Jakarta: Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron dinilai berupaya menghalangi Dewan Pengawas (Dewas) KPK dalam memutuskan sidang etik dirinya. Penghalangan itu disebut sudah terang benderang terjadi.
"Itu sudah terang benderang, upaya NG melalui PTUN termasuk laporan ke Bareskrim, adalah upaya untuk menghalangi Dewas KPK menjatuhkan vonis terhadap dirinya," kata Pegiat Antikorupsi Herdiansyah Hamzah Castro kepada Medcom.id, Jumat, 24 Mei 2024.
Hamzah mengatakan tontonan itu membuat publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap KPK. Dia memandang pilihan Dewas menunda pembacaan vonis karena menghormati putusan pengadilan masih bisa dimaklumi.
"Tapi putusan PTUN juga bermasalah. Sarat dengan muatan kepentingan. Selain karena putusannya terburu-buru sehari sebelum vonis Dewas KPK, alasan penundaan juga tidak masuk akal," ujar Hamzah.
Dia menuturkan berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, eksplisit disebutkan jika permohonan penundaan hanya dapat dikabulkan apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak. Terutama yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan.
"Dalam konteks ini, tidak ada kepentingan mendesak dari NG yang dapat dijadikan alasan menunda pembacaan vonis Dewas KPK. Mestinya hakim PTUN yang mengadili perkara ini diperiksa oleh Komisi Yudisial," tutur Hamzah.
Dewas KPK dijadwalkan membacakan vonis terhadap Nurul Ghufron atas dugaan melanggar kode etik terkait penyalahgunaan pengaruh di balik mutasi pegawai Kementan berinisial ADM pada Selasa siang, 21 Mei 2024. Namun agenda tersebut terbentur putusan PTUN.
PTUN mengeluarkan putusan dan memerintahkan Dewas KPK menghentikan proses persidangan etik terhadap Ghufron. Padahal, peradilan instansi itu sudah sampai tahap pamungkas yaitu pembacaan vonis.
Jakarta: Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) Nurul Ghufron dinilai berupaya menghalangi
Dewan Pengawas (Dewas) KPK dalam memutuskan sidang etik dirinya. Penghalangan itu disebut sudah terang benderang terjadi.
"Itu sudah terang benderang, upaya NG melalui PTUN termasuk laporan ke Bareskrim, adalah upaya untuk menghalangi Dewas KPK menjatuhkan vonis terhadap dirinya," kata Pegiat Antikorupsi Herdiansyah Hamzah Castro kepada Medcom.id, Jumat, 24 Mei 2024.
Hamzah mengatakan tontonan itu membuat publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap KPK. Dia memandang pilihan Dewas menunda pembacaan vonis karena menghormati putusan pengadilan masih bisa dimaklumi.
"Tapi putusan PTUN juga bermasalah. Sarat dengan muatan kepentingan. Selain karena putusannya terburu-buru sehari sebelum vonis Dewas KPK, alasan penundaan juga tidak masuk akal," ujar Hamzah.
Dia menuturkan berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, eksplisit disebutkan jika permohonan penundaan hanya dapat dikabulkan apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak. Terutama yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan.
"Dalam konteks ini, tidak ada kepentingan mendesak dari NG yang dapat dijadikan alasan menunda pembacaan vonis Dewas KPK. Mestinya hakim PTUN yang mengadili perkara ini diperiksa oleh Komisi Yudisial," tutur Hamzah.
Dewas KPK dijadwalkan membacakan vonis terhadap Nurul Ghufron atas dugaan melanggar kode etik terkait penyalahgunaan pengaruh di balik mutasi pegawai Kementan berinisial ADM pada Selasa siang, 21 Mei 2024. Namun agenda tersebut terbentur putusan PTUN.
PTUN mengeluarkan putusan dan memerintahkan Dewas KPK menghentikan proses persidangan etik terhadap Ghufron. Padahal, peradilan instansi itu sudah sampai tahap pamungkas yaitu pembacaan vonis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)