Jakarta: Direktur Human Capital Management PT PLN Muhammad Ali mengaku kerap membahas proyek-proyek terkait dengan PLN bersama jajarannya secara tak formal. Termasuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Awalnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanyakan perihal Power Purchased Agreement (PPA). Pasalnya, dalam perkara dugaan korupsi PLTU Riau-1, terdakwa eks Direktur Utama PLN Sofyan Basir meminta tahapan penandatanganan PPA dipercepat, padahal sebelumnya ada proses letter of intent (LoI).
"Makan siang bersama tujuannya saling update. Memang tidak tertulis yang mulia tapi kita di-update kondisi terbaru. Salah satunya Pak Sofyan update perkembangan mulut tambang walaupun tidak hanya Riau-1," kata Ali di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 5 Agustus 2019.
Eks Plt Direktur Utama PLN itu mengaku perbincangan mengenai proyek yang dibawa dalam makan siang tersebut belum dilakukan secara formal. Terkait dengan PPA yang ditandatangani oleh Sofyan, ia baru mengetahui hal itu saat diperiksa oleh penyidik KPK.
Baca juga: Pejabat PLN Sebut Sofyan Basir Percepat Teken PLTU Riau-1
"Saya mengetahui ada PPA tadi ketika dipanggil sebagai saksi oleh penyidik KPK, di situ kami diperlihatkan ditunjukkan dokumen penyidik bertuliskan memang PPA di situ, covernya begitu, ada tulisannya PPA," ujar Ali.
Dalam dakwaan Sofyan disebutkan, LoI IPP Project baru ditandatangani oleh Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN, Supangkat Iwan Santoso dan Dwi Hartono selaku perwakilan perusahaan konsorsium pada tanggal 17 Januari 2018 dengan menggunakan tanggal mundur yaitu tertanggal 6 Oktober 2017. Dalam IPP berisi salah satunya masa kontrak 25 tahun dengan tarif dasar USD5,4916 per kWh, dan segera membentuk perusahaan proyek yang akan menjadi pihak penjual berdasarkan PPA.
Sofyan Basir didakwa memberikan fasilitas demi melancarkan suap PLTU Riau-1. Ia berperan sebagai jembatan yang mempertemukan sejumlah pejabat untuk memuluskan proyek itu.
Dia disebut mempertemukan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo di tempat yang berbeda sejak 2016. Sofyan merayu ketiganya mempercepat proses kesepakatan proyek independent power producer (IPP) PLTU Riau-1 antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi dan BlackGold Natural Resources (BNR, Ltd) serta China Huadian Enginering Company Limited (CHEC, Ltd), perusahaan yang dibawa Kotjo.
Baca juga: PLTU Riau-1 Bermasalah, PLN Gagal Raup Keuntungan Rp1,4 T
Sofyan disebut secara sadar mengetahui Eni dan Idrus akan mendapatkan uang suap dari Kotjo. Eni dan Idrus menerima suap sebesar Rp4,7 miliar yang diberikan secara bertahap. Uang tersebut diberikan untuk mempercepat kesepatan proyek IPP PLTU Riau-1.
Atas bantuan Sofyan perusahaan Kotjo dapat jatah proyek PLTU Riau-1. Kotjo mendapatkan keuntungan Rp4,75 miliar atas permainan kotor tersebut.
Sofyan Basir didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.
Jakarta: Direktur Human Capital Management PT PLN Muhammad Ali mengaku kerap membahas proyek-proyek terkait dengan PLN bersama jajarannya secara tak formal. Termasuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Awalnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanyakan perihal Power Purchased Agreement (PPA). Pasalnya, dalam perkara dugaan korupsi PLTU Riau-1, terdakwa eks Direktur Utama PLN Sofyan Basir meminta tahapan penandatanganan PPA dipercepat, padahal sebelumnya ada proses letter of intent (LoI).
"Makan siang bersama tujuannya saling update. Memang tidak tertulis yang mulia tapi kita di-update kondisi terbaru. Salah satunya Pak Sofyan update perkembangan mulut tambang walaupun tidak hanya Riau-1," kata Ali di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 5 Agustus 2019.
Eks Plt Direktur Utama PLN itu mengaku perbincangan mengenai proyek yang dibawa dalam makan siang tersebut belum dilakukan secara formal. Terkait dengan PPA yang ditandatangani oleh Sofyan, ia baru mengetahui hal itu saat diperiksa oleh penyidik KPK.
Baca juga:
Pejabat PLN Sebut Sofyan Basir Percepat Teken PLTU Riau-1
"Saya mengetahui ada PPA tadi ketika dipanggil sebagai saksi oleh penyidik KPK, di situ kami diperlihatkan ditunjukkan dokumen penyidik bertuliskan memang PPA di situ, covernya begitu, ada tulisannya PPA," ujar Ali.
Dalam dakwaan Sofyan disebutkan, LoI IPP Project baru ditandatangani oleh Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN, Supangkat Iwan Santoso dan Dwi Hartono selaku perwakilan perusahaan konsorsium pada tanggal 17 Januari 2018 dengan menggunakan tanggal mundur yaitu tertanggal 6 Oktober 2017. Dalam IPP berisi salah satunya masa kontrak 25 tahun dengan tarif dasar USD5,4916 per kWh, dan segera membentuk perusahaan proyek yang akan menjadi pihak penjual berdasarkan PPA.
Sofyan Basir didakwa memberikan fasilitas demi melancarkan suap PLTU Riau-1. Ia berperan sebagai jembatan yang mempertemukan sejumlah pejabat untuk memuluskan proyek itu.
Dia disebut mempertemukan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo di tempat yang berbeda sejak 2016. Sofyan merayu ketiganya mempercepat proses kesepakatan proyek independent power producer (IPP) PLTU Riau-1 antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi dan BlackGold Natural Resources (BNR, Ltd) serta China Huadian Enginering Company Limited (CHEC, Ltd), perusahaan yang dibawa Kotjo.
Baca juga:
PLTU Riau-1 Bermasalah, PLN Gagal Raup Keuntungan Rp1,4 T
Sofyan disebut secara sadar mengetahui Eni dan Idrus akan mendapatkan uang suap dari Kotjo. Eni dan Idrus menerima suap sebesar Rp4,7 miliar yang diberikan secara bertahap. Uang tersebut diberikan untuk mempercepat kesepatan proyek IPP PLTU Riau-1.
Atas bantuan Sofyan perusahaan Kotjo dapat jatah proyek PLTU Riau-1. Kotjo mendapatkan keuntungan Rp4,75 miliar atas permainan kotor tersebut.
Sofyan Basir didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)