Ketua MK Anwar Usman. (tangkapan layar)
Ketua MK Anwar Usman. (tangkapan layar)

Dinilai Kabur, Permohonan Uji UU MK Ditolak

Faustinus Nua • 30 Maret 2023 19:00
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) tidak dapat diterima. Permohonan diajukan oleh Zico Leonard Djagardo yang merupakan seorang advokat.
 
“Mengadili, Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Anwar Usman, Kamis, 30 Maret 2023.
 
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK mengatakan pada dasarnya Pemohon hendak mengatakan bahwa pemberhentian “… oleh Lembaga Pengusung karena menganulir atau membatalkan Produk Hukum yang dibuat oleh Lembaga Pengusung” seharusnya tidak termasuk sebagai alasan pemberhentian dengan hormat yang diatur Pasal 23 ayat (1) UU MK.

Menurut MK, dilihat dari sistematika UU MK, Pasal 23 secara khusus mengatur mengenai alasan pemberhentian hakim konstitusi, di mana Pasal 23 ayat (1) mengatur alasan pemberhentian dengan hormat, sementara Pasal 23 ayat (2) mengatur alasan pemberhentian tidak dengan hormat. “Jika alur penalaran permohonan Pemohon diikuti maka rumusan Pasal 23 ayat (1) UU MK akan memuat lima alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi (yang dirumuskan dalam huruf a, b, c, d, dan e) sekaligus satu alasan (yang dimohonkan Pemohon) yang tidak termasuk dalam kategori pemberhentian dengan hormat. 
 
"Artinya dalam satu nafas, ayat (1) dari Pasal 23 UU MK akan sekaligus memuat dua kategori yang bertolak belakang, yaitu kategori pemberhentian dengan hormat yang dianggap Pemohon konstitusional dan kategori pemberhentian yang dianggap Pemohon inkonstitusional," ujar Daniel.
 
Lebih lanjut, penyatuan dua kategori konstitusionalitas berpotensi memunculkan kontradiksi yang pada akhirnya Pasal 23 ayat (1) UU MK justru tidak lagi dapat dipahami apalagi dilaksanakan. Hal itu tentu saja justru merugikan Pemohon dan masyarakat karena pengaturan mengenai alasan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi tidak lagi dapat diterapkan.
 
Penambahan makna baru, Daniel menyebut, secara teknis logika hukum, hanya dimungkinkan untuk dilakukan kepada rumusan norma yang mempunyai kedekatan konteks. Hasil penambahan makna tersebut tidak justru membuat makna keseluruhan menjadi kabur.
 
Baca juga: Soal Usia Hakim MK, Jimly Asshiddiqie: Jangan Terlalu Muda, Minimal 60 Tahun

 
Dalam permohonan a quo Mahkamah menilai makna baru yang dimohonkan oleh Pemohon justru mengaburkan makna Pasal 23 ayat (1) UU MK secara keseluruhan. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU MK mengatur tentang alasan dapat diberhentikan dengan hormat sebagai hakim konstitusi. Sebaliknya, petitum yang dimohonkan Pemohon justru mengandung norma berupa larangan sehingga terjadi pertentangan (contradictio in terminis).
 
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan dalam paragraf di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon kabur dan karenanya permohonan Pemohon tidak dapat diperiksa dan/atau dipertimbangkan lebih lanjut,” ujarnya.
 
Sebelumnya, Pemohon mengungkapkan, sebagai pihak yang beperkara di MK dirinya sangat membutuhkan independensi hakim konstitusi dalam memutus perkara. Oleh karena itu, ketika DPR mengintervensi MK dengan mengganti hakim yang menjadi 'wakil' mereka, hal ini melanggar hak-hak konstitusional Zico untuk mendapatkan keadilan melalui kekuasaan kehakiman yang merdeka. Independensi MK digerus oleh DPR melalui upaya mengganti hakim konstitusi agar sejalan dengan mereka.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan