Tersangka kasus penerbitan SKL BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung (kanan) memberikan keterangan saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (23/8). Foto: MI/Bary Fathahilah.
Tersangka kasus penerbitan SKL BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung (kanan) memberikan keterangan saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (23/8). Foto: MI/Bary Fathahilah.

Kerugian Negara dalam Kasus BLBI Disebut karena Penjualan Aset di 2007

25 Agustus 2018 06:55
Jakarta: Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) mengaku terjadinya kerugian negara karena menyusutnya aset kredit petani tambak. Kerugian negara bukan saat dirinya menduduki kursi orang nomor satu di BPPN (Periode 2002-2004), melainkan terjadi pada 2007.
 
Hal tersebut dikemukakan SAT saat diperiksa sebagai terdakwa dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat, 24 Agustus 2018.
 
Menurut pengakuan SAT, aset kredit petambak adalah aset yang dimiliki oleh Bank BDNI yang diambil alih oleh BPPN berdasarkan penyerahan dari Bank Indonesia kepada BPPN sebagai Bank Dalam Penyehatan. 

SAT mengungkapkan, ketika BPPN bubar pada 27 Februari 2004, BPPN menyerahkan kepada Menteri Keuangan berupa utang petambak sebesar Rp4,8 triiun. Pada 21 Mei 2007, Menteri Keuangan telah menetapkan harga dasar utang petambak sebesar Rp220 miliar, yang kemudian aset utang petambak dijual oleh PT PPA pada 23 Mei 2007 dengan nilai yang sama dengan harga dasar sebesar Rp220 miliar.
 
SAT juga mengungkapkan bahwa proses hapus buku dan hapus tagih pada BPPN didasarkan pada ketentuan Pasal 3, Pasal 26, dan Pasal 53 PP 17 yang merupakan peraturan pelaksanaan Pasal 37A Undang-Undang Perbankan. 
 
Dalam fakta sidang sebelumnya, bankir senior yang juga mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono menjelaskan penghapusbukuan tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian. Karena penghapusanbukuan sama sekali tidak menghapuskan hak tagih. Kerugian baru terjadi jika hak tagihnya yang dihapus.
 
Baca juga: Ahli Sebut Penghapusbukuan Bukan Bentuk Kerugian
 
SAT juga menegaskan tak pernah mengusulkan dan menyetujui restrukturisasi utang petambak PT DCD. Sebab saat itu dia hanya menjabat sebagai sekretaris di Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). "Sekretaris KKSK bertugas menyiapkan bahan-bahan yang berasal dari BPPN atau lain-lain, mengenai masalah-masalah perbankan. Kita siapkan materi untuk pengambilan keputusan KKSK," ungkapnya. 
 
Menurutnya, yang disampaikan adalah draft, sekretaris tidak mempunyai kewenangan mengusulkan. Draft dibuat untuk dibaca ketua. Namun jika tidak (ada kesalahan) maka akan ditandatanganinya. SAT juga mengatakan bahwa sekretaris KKSK tak dilibatkan dalam penanganan utang petani petambak PT Dipasena di Lampung. Sekretaris KKSK hanya bertanggung jawab pada pembuatan draft hasil keputusan rapat.
 
SAT juga mengungkapkan bahwa pernyataan dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum keliru dalam menagihkan utang petambak ke MSAA BDNI. 
 
Menurut SAT, utang petambak bukan kewajiban Sjamsul Nursalim dalam MSAA BDNI. Utang petambak tidak pernah dinyatakan lancar dan dijamin oleh Sjamsul Nursalim dalam MSAA-BDNI dan pemberian SKL telah melalui rangkaian pembahasan dalam KKSK dan didasarkan pada KKSK tanggal 17 Maret 2004 dan Inpres Nomor 8 Tahun 2002. 
 
Berdasarkan fakta persidangan sebelumnya, Mantan Deputi BPPN Taufik Mappaenre menjelaskan bahwa BPPN tidak mengajukan klaim kepada pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim lantaran tidak menemukan unsur misrepresentasi terhadap isi perjanjian MSAA. 
 
Baca jugaSyafruddin Ungkap Alasan Sjamsul Nursalim Layak Terima SKL
 
Berdasarkan Keputusan KKSK pada 13 Februari 2004, KKSK telah menyetujui nilai utang 11 ribu petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya Rp1,1 triliun, sedangkan nilai aset jaminan tetap. 
 
Utang petambak kepada BDNI tersebut dijamin oleh lahan 0,6 hektare per petambak. Kisaran harga lahan di lokasi Dipasena petambak berdasarkan akta jual beli notaris Juli 2018 antara Rp120 ribu/meter persegi sampai Rp180 ribu/meter persegi.
 
Menurut SAT, jika lahan tambak yang merupakan jaminan utang petambak kepada BDNI masih dikuasai oleh Pemerintah dan dijual pada 2018, maka nilai aset jaminan atas utang petambak sebesar Rp3,1 triliun sampai dengan Rp7,3 triliun. Dengan demikian, kerugian negara atas utang petambak terjadi karena penjualan di tahun 2007.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan