Praktisi perbankan Sigit Pramono memberikan keterangan ahlinya dalam persidangan dengan terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI Syafrudin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (13/8). Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Praktisi perbankan Sigit Pramono memberikan keterangan ahlinya dalam persidangan dengan terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI Syafrudin Arsyad Temenggung di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (13/8). Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.

Ahli Sebut Penghapusbukuan Bukan Bentuk Kerugian

Damar Iradat • 14 Agustus 2018 01:16
Jakarta: Mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono mengatakan penghapusbukuan dalam praktik perbankan tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian. Kerugian baru terjadi jika hak tagih dihapus.
 
"Penghapusbukuan hanya menghapus kredit dari catatan akutansi, karena itu dampaknya baru sebatas potential lost, belum realized cost atau kerugian yang direalisasi," kata Sigit yang dihadirkan sebagai saksi ahli untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 13 Agustus 2018.
 
Sigit menjelaskan, penghapusbukuan hanya membuat kredit keuangan tidak tertera dalam catatan akuntansi. Itu pun bersifat potential loss lantaran hak tagih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terhadap kredit tersebut tetap ada.

Baca juga: Saksi Beberkan Alasan BPPN Terbitkan SKL untuk Sjamsul Nursalim
 
Menurutnya, hak tagih ini terjadi pada saat penutupan BPPN pada 2004 dan dialihkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PAA) yang menampung semua aset BPPN. Sigit mengatakan, apa yang dilakukan Syafruddin merupakan langkah penyelesaian restrukturisasi perbankan yang menjadi tanggung jawab BPPN.
 
"Seingat saya, proses restrukturisasi perbankan semasa SAT berjalan sesuai prosedur dan lancar, dibandingkan periode sebelumnya. Dengan tuntasnya restrukturisasi itulah, Indonesia kini mempunyai sektor perbankan yang kuat," jelas Sigit.
 
Sigit bilang, BPPN dibentuk bukan untuk mengejar untung atau rugi atas dana BLBI yang disalurkan pada krisis ekonomi 1998. Menurut dia, BPPN bekerja agar bisa menyehatkan kondisi perbankan kala itu.
 
"Mereka tidak diukur untung rugi di situ karena ini bukan lembaga yang mencari untung dan tidak bisa rugi," ujarnya.
 
Baca juga: SKL BLBI Diterbitkan Sebelum Piutang Petambak Diselesaikan
 
Syafruddin Arsyad Tumenggung didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait SKL BLBI. Ia diduga telah menghapus piutang BDNI milik Sjamsul Nurslaim kepada petani tambak.
 
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan surat PKPS kepada Sjamsul, meskipun dia belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak.
 
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan