Penyidik KPK Novel Baswedan di lobi Gedung KPK, Rasuna Said, Jakarta. Foto: MI/Susanto
Penyidik KPK Novel Baswedan di lobi Gedung KPK, Rasuna Said, Jakarta. Foto: MI/Susanto

Beda Nasib Terdakwa Penyiram Air Keras di Luar Kasus Novel

Yogi Bayu Aji • 13 Juni 2020 08:26
Jakarta: Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan segera menemukan titik akhir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). Namun, polemik yang muncul akibat perkara itu belum juga usai.
 
Alih-alih memberikan tuntutan berat, jaksa penuntut umum (JPU) hanya meminta majelis hakim menghukum kedua terdakwa, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette, dengan satu tahun penjara. Tuntutan itu berdasarkan dakwaan subsider Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
 
Pasal 353 ayat (1) menyebut penganiayaan dengan rencana lebih dahulu diancam hukuman penjara paling lama empat tahun. Ayat (2) menambahkan jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, pelaku dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
JPU menganggap kedua terdakwa tidak memenuhi unsur dakwaan primer soal penganiayaan berat di Pasal 355 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 355 menyebutkan pelaku penganiayaan berat terencana diancam penjara paling lama 12 tahun atau 15 tahun bila korban mati.
 
Dalam tuntutannya, JPU menilai kedua terdakwa terbukti menganiaya Novel secara terencana yang mengakibatkan luka-luka berat. Namun, tuntutan ringan diberikan lantaran JPU menanggap terdakwa merasa bersalah atas perbuatannya.
 
"Dituntut hanya satu tahun karena pertama, yang bersangkutan mengakui terus terang di dalam persidangan. Kedua, yang bersangkutan meminta maaf dan menyesali perbuatannya dan secara di persidangan menyampaikan memohon maaf kepada keluarga Novel Baswedan dan meminta maaf institusi kepolisian. Institusi Polri itu tercoreng," kata JPU Ahmad Patoni di PN Jakut, Kamis, 11 Juni 2020.
 
Menurut Ahmad, para terdakwa hanya ingin memberikan pelajaran kepada Novel dengan menyiram air keras. Aksi itu dilakukan lantaran Novel dianggap telah mengkhianati Polri yang menjadi institusi asalnya sebelum bertugas di KPK.
 
"Di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi," tambah jaksa.
 
Tuntutan ringan dari JPU langsung mengundang kritik tajam. Pernyataan pedas bermunculan lantaran kasus yang sudah berlangsung sejak Selasa, 11 April 2017, itu terancam berakhir antiklimaks. Kondisi ini disayangkan lantaran kasus Novel mendapat perhatian khusus dari Presiden Joko Widodo.
 
Novel Baswedan sebagai korban heran dengan tuntutan JPU. Dia menilai Korps Adhyaksa justru bertindak selayaknya penasihat hukum kedua terdakwa. Serangan terhadap dirinya, kata Novel, ialah penganiayaan yang paling tinggi levelnya.
 
"Saya ingin mengajak semua kalangan masyarakat untuk bisa mengkritisi hal seperti ini, baik kasus saya maupun kasus-kasus lain yang menunjukkan ketidakadilan, menunjukkan suatu perbuatan yang menggambarkan potret penegakan hukum yang compang-camping," kata Novel.
 
Baca: Novel Marah Terdakwa Penyiram Air Keras Dituntut 1 Tahun
 
Seakan mengikuti saran Novel untuk membedah kasus ini, masyarakat luas akhirnya membanding-bandingkan tuntutan jaksa pada perkara Novel dengan kasus penyiraman air keras lainnya. Hasilnya, beberapa penyiram air keras mendapatkan hukuman berat.
 
Beda Nasib Terdakwa Penyiram Air Keras di Luar Kasus  Novel
Penyidik KPK Novel Baswedan. Foto: MI/Rommy Pujianto

1. Vonis 20 tahun penjara


Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam akun Twitter @LBH_Jakarta membagikan beberapa kasus penyiraman air keras. Salah satu perkara yang disorot yakni kasus penyiraman air keras oleh terdakwa Heriyanto yang menyebabkan istrinya, Yeta Maryati, tewas di Bengkulu.
 
Peristiwa ini terjadi di Hotel Gumay, Ratu Agung, Bengkulu, Jumat, 12 Juli 2019. Yeta mengalami luka bakar parah akibat ulah pelaku. Dia tewas dalam perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bengkulu, Minggu, 14 Juli 2019. JPU menuntut pelaku dengan 20 tahun penjara.
 
Pada Kamis, 20 Januari 2020, PN Bengkulu menyatakan terdakwa bersalah melanggar Pasal 355 ayat (2) KUHP juncto Pasal 356 ayat (1) KUHP. Pasal 356 mengatur hukuman Pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah sepertiga jika kejahatan dilakukan terhadap keluarga inti.
 
“Menjatuhkan vonis kepada terdakwa Heriyanto dengan hukuman 20 tahun kurungan penjara,” kata ketua majelis hakim Arifin Sani di persidangan.
 
Beda Nasib Terdakwa Penyiram Air Keras di Luar Kasus  Novel
Penyidik KPK Novel Baswedan. Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya

2. Penganiayaan pemandu lagu


Warga Desa Randubangu, Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur, Lamaji, duduk di kursi pesakitan setelah menganiaya pemandu lagu sekaligus istri sirinya, Dian Wulansari, Minggu, 5 Maret 2017. Dibutakan cemburu karena melihat korban dengan lelaki lain, pelaku menyiram air keras kepada Dian.
 
Larutan asam kuat itu menyebabkan Dian menderita luka bakar 54 persen di seluruh wajah, dada tengah, lengan, perut, dan sebagian paha sisi depan. Korban akhirnya meninggal setelah dirawat intensif 26 hari.
 
JPU menuntut majelis hakim menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara. Senin, 2 Oktober 2017, PN Mojokerto menjatuhkan vonis 12 tahun penjara terhadap Lamaji. 
 
"Terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 353 KUHP juncto Pasal 355 ayat (2) KUHP," kata ketua majelis hakim Joko Waluyo.
 
Beda Nasib Terdakwa Penyiram Air Keras di Luar Kasus  Novel
Penyidik KPK Novel Baswedan (kedua kanan) menjawab pertanyaan wartawan saat dikunjungi Wadah Pegawai KPK di kediamannya, di Kelapa Gading, Jakarta. Foto: Antara/Hafidz Mubarak

3. Menyewa preman


Mahkamah Agung (MA) tercatat pernah menjatuhkan vonis berat terhadap kasus penyiraman air keras. MA menolak kasasi yang diajukan terdakwa Rika Sonata yang menyerang suaminya, Ronaldo, dengan menyewa preman pada Oktober 2018. 
 
Rika menyewa preman untuk menyiramkan air keras terhadap Ronaldo yang sedang tertidur di rumah. Serangan ini membuat wajah Ronaldo cacat permanen. PN Bengkulu memvonis Rika dengan hukuman 12 tahun penjara, sedangkan sang preman delapan tahun penjara.
 
Rika dianggap melanggar Pasal 355 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 KUHP subsider Pasal 354 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 KUHP subsider Pasal 351 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 KUHP. Vonis yang dibacakan pada Mei 2019 di PN Bengkulu lebih berat dari tuntutan 10 tahun yang diajukan JPU. 
 
Di tingkat banding, pemohonan Rita untuk mendapatkan keringanan hukuman dimentalkan Pengadilan Tinggi Bengkulu. Sementara itu, di tingkat kasasi, keputusan MA memperkuat vonis 12 tahun penjara dari PN Bengkulu. 
 
Beda Nasib Terdakwa Penyiram Air Keras di Luar Kasus  Novel
Penyidik KPK Novel Baswedan. Foto: Antara/Dhemas Reviyanto

4. Mata korban cacat


LBH mencatat ada kasus menyerupai Novel, yakni penyiraman air keras terhadap korban Muhammad Rifai di Palembang, Sumatra Selatan, pada 2019. Serangan dari pelaku, Ahmad Irawan alias Iwan Brek, menyebabkan mata kiri Rifai catat permanen. 
 
Insiden bermula pada Minggu, 30 Desember 2018, saat pelaku dan korban cekcok memperebutkan lahan parkir. Irawan meminta uang kepada korban, tetapi ditolak. Selasa, 1 Januri 2019, pelaku kemudian menyiramkan cuka para kepada pelaku.
 
Dalam persidangan di PN Kelas 1 A Khusus Palembang, JPU menuntut pelaku dihukum 10 tahun penjara. Senin, 7 Oktober 2019, ketua majelis hakim Ahmad Suhel memvonis Irawan bersalah telah menganiaya Rifai dengan terencana hingga menyebabkan cacat permanen.
 
“Memutuskan terhadap terdakwa Ahmad Irawan Alias Iwan Brek terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penganiayaan yang terencana sehingga membuat korban mengalami luka berat sesuai dengan Pasal 355 ayat (1) KUHPidana dengan pidana kurungan penjara selama 8 tahun," kata Suhel.
 
Sementara itu, kini nasib kasus Novel ada di tangan hakim PN Jakarta Utara. Pengadilan dapat saja menjatuhkan hukuman lebih tinggi dari tuntutan seperti yang terjadi di kasus terdakwa Rika Sonata. Keputusan menjatuhkan hukuman berat pun dipastikan mendapatkan dukungan publik.
 
Baca: Novel Minta Keadilan ke Jokowi
 
Mantan pimpinan KPK Laode M Syarif, salah satunya, menilai tuntutan satu tahun penjara irasional. Dia membandingkan kasus ini dengan penganiayaan yang menjerat Bahar Bin Smith. Saat itu, jaksa menuntut Bahar dengan hukuman 6 tahun penjara.
 
"Saya melihat pengadilan ini sebagai panggung sandiwara," kata Syarif, Jumat, 12 Juni 2020.
 
Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, juga menyoroti tuntutan jaksa. Dia menilai alasan tidak ada niatan dan tidak sengaja yang dilontarkan JPU tidak hanya mencederai keadilan, tetapi tidak masuk akal.
 
"Lagi pula sudah jelas-jelas pelaku mengaku dendam, kok bisa ada kesimpulan jaksa tidak sengaja," ujar politikus Partai NasDem itu.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id

(OGI)




LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif