Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menguji gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ada beberapa hal yang mesti diperbaiki para pemohon, salah satunya penjelasan mengenai kedudukan hukum (legal standing).
"MK untuk dapat memberikan legal standing, perlu pemohon uraikan secara cermat agar subjek hukum yang bisa diberikan kedudukan hukum itu jelas," papar Hakim Konstitusi Arief Hidayat di ruang sidang panel Gedung MK, Jakarta, Kamis, 7 April 2022.
Para pemohon dinilai perlu mengelaborasi kembali kedudukan hukum mereka. Selain itu, memperjelas kerugian konstitusional yang faktual atau potensi terjadi atas norma pasal-pasal yang diujikan.
"Dari pemahaman saya, ini belum bisa memberikan penjelasan secara komprehensif kaitan antara subjek hukum dengan kerugian konstitusionalitas yang dialami," ucap Arief.
Arief menjelaskan MK pernah memutuskan agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara serentak. Makanya, pembuat undang-undang melalui UU Pilkada mencantumkan pemilihan kepala daerah serentak digelar November 2024.
Guna mengisi kekosongan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022, 2023 dan 2024, maka UU Pilkada mengatur pengangkatan penjabat kepala daerah. Sehingga, ada pasal-pasal yang mengatur masa peralihan itu agar tidak terjadi kekosongan pimpinan daerah.
"Apakah kekosongan itu harus dilakukan secara demokratis menunggu pilkada serentak? maka harus menunggu 2024," terang Arief.
Baca: Praperadilan Tersangka Kasus Perpajakan Ditolak
Ia menyampaikan masa jabatan kepala daerah tidak secara limitatif diatur dalam Pasal 18 UU Pilkada. Sehingga, tidak harus berakhir lima tahun. Ia menegaskan UU hanya mengatur masa jabatan lima tahun bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menambahkan ada atau tidaknya kedudukan hukum para pemohon menjadi pintu masuk MK memeriksa pokok permohonan. Menurutnya, mahkamah sudah menegaskan bahwa warga negara Indonesia yang merupakan pembayar pajak tidak cukup digunakan sebagai alasan agar bisa mendapatkan kedudukan hukum.
"Dalil pemohon sebagai pembayar pajak kurang relevan (untuk bisa mendapat kedudukan hukum)," ucap Saldi.
UU Pilkada digugat A. Komarudin dan Eny Rochayati dari Jaringan Rakyat Miskin Kota Warga Jakarta. Penggugat lainnya yakni warga Provinsi Papua dan Papua Barat atas nama Hana Lena Mabel, Festus Menasye Asso, Yohanes G. Raubaba, dan Prilia Yustiati Uruwaya.
Para penggugat mempersoalkan ketentuan mengenai penjabat kepala daerah yang diatur Pasal 201 ayat 9, Pasal 201 ayat 10, serta Pasal 201 ayat 11 UU Pilkada. Kuasa Hukum Pemohon Nurkholis Hidayat mengatakan gugatan ini didasari kekhawatiran penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif dalam ketentuan penunjukan penjabat sementara.
Para pemohon meminta majelis hakim MK untuk menyatakan ketentuan pengangkatan penjabat kepala daerah dalam UU Pilkada dinyatakan konstitusional bersyarat. Syarat itu antara lain, perlu adanya ketentuan mengenai mekanisme ketentuan pengisian penjabat kepala daerah.
Kemudian, calon penjabat kepala daerah harus menerima legitimasi paling tinggi di masyarakat. Lalu, pemohon meminta penunjukan penjabat di Provinsi Papua dan Papua Barat diisi orang asli Papua dan mempertimbangkan usulan dari Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan tokoh masyarakat.
Jakarta:
Mahkamah Konstitusi (MK) menguji gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ada beberapa hal yang mesti diperbaiki para pemohon, salah satunya penjelasan mengenai kedudukan hukum (
legal standing).
"MK untuk dapat memberikan
legal standing, perlu pemohon uraikan secara cermat agar subjek hukum yang bisa diberikan kedudukan hukum itu jelas," papar Hakim Konstitusi Arief Hidayat di ruang sidang panel Gedung MK, Jakarta, Kamis, 7 April 2022.
Para pemohon dinilai perlu mengelaborasi kembali kedudukan hukum mereka. Selain itu, memperjelas kerugian konstitusional yang faktual atau potensi terjadi atas norma pasal-pasal yang diujikan.
"Dari pemahaman saya, ini belum bisa memberikan penjelasan secara komprehensif kaitan antara subjek hukum dengan kerugian konstitusionalitas yang dialami," ucap Arief.
Arief menjelaskan MK pernah memutuskan agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara serentak. Makanya, pembuat undang-undang melalui
UU Pilkada mencantumkan pemilihan kepala daerah serentak digelar November 2024.
Guna mengisi kekosongan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022, 2023 dan 2024, maka
UU Pilkada mengatur pengangkatan penjabat kepala daerah. Sehingga, ada pasal-pasal yang mengatur masa peralihan itu agar tidak terjadi kekosongan pimpinan daerah.
"Apakah kekosongan itu harus dilakukan secara demokratis menunggu pilkada serentak? maka harus menunggu 2024," terang Arief.
Baca:
Praperadilan Tersangka Kasus Perpajakan Ditolak
Ia menyampaikan masa jabatan kepala daerah tidak secara limitatif diatur dalam Pasal 18 UU Pilkada. Sehingga, tidak harus berakhir lima tahun. Ia menegaskan UU hanya mengatur masa jabatan lima tahun bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menambahkan ada atau tidaknya kedudukan hukum para pemohon menjadi pintu masuk MK memeriksa pokok permohonan. Menurutnya, mahkamah sudah menegaskan bahwa warga negara Indonesia yang merupakan pembayar pajak tidak cukup digunakan sebagai alasan agar bisa mendapatkan kedudukan hukum.
"Dalil pemohon sebagai pembayar pajak kurang relevan (untuk bisa mendapat kedudukan hukum)," ucap Saldi.
UU Pilkada digugat A. Komarudin dan Eny Rochayati dari Jaringan Rakyat Miskin Kota Warga Jakarta. Penggugat lainnya yakni warga Provinsi Papua dan Papua Barat atas nama Hana Lena Mabel, Festus Menasye Asso, Yohanes G. Raubaba, dan Prilia Yustiati Uruwaya.
Para penggugat mempersoalkan ketentuan mengenai penjabat kepala daerah yang diatur Pasal 201 ayat 9, Pasal 201 ayat 10, serta Pasal 201 ayat 11 UU Pilkada. Kuasa Hukum Pemohon Nurkholis Hidayat mengatakan gugatan ini didasari kekhawatiran penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif dalam ketentuan penunjukan penjabat sementara.
Para pemohon meminta majelis hakim MK untuk menyatakan ketentuan pengangkatan penjabat kepala daerah dalam UU Pilkada dinyatakan konstitusional bersyarat. Syarat itu antara lain, perlu adanya ketentuan mengenai mekanisme ketentuan pengisian penjabat kepala daerah.
Kemudian, calon penjabat kepala daerah harus menerima legitimasi paling tinggi di masyarakat. Lalu, pemohon meminta penunjukan penjabat di Provinsi Papua dan Papua Barat diisi orang asli Papua dan mempertimbangkan usulan dari Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan tokoh masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)