Jakarta: Terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Syafruddin Arsyad Temenggung dituntut hukuman 15 tahun penjara. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp1 miliar subisder enam bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum pada KPK Haerudin mengatakan, Syafruddin selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum dengan memperkaya orang lain, korporasi atau diri sendiri. Akibatnya negara merugi Rp4,58 triliun atas perbuatannya.
"Menuntut, majelis hakim menyatakan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Jaksa Haerudin saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 3 September 2018.
Jaksa mempertimbangkan sejumlah hal dalam menyusun surat tuntutan. Hal yang memberatkan, perbuatan Syafruddin dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintah yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Syafruddin merupakan pelaku yang aktif dan berperan besar dalam kejahatan tersebut.
(Baca juga: Kredit Macet Petambak Udang Rp4,8 Triliun)
Selain itu, pelaksanaan kejahatan menunjukkan adanya derajat keahilan dan perencanaan terlebih dahulu, perbuatan yang dilakukan oleh Syafruddin juga menimbulkan kerugian negara cukup besar. Serta, ia tidak mengakui secara terus terang dan tidak menyesali perbuatannya.
"Sementara hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum dan berlaku sopan selama di persidangan," lanjut jaksa.
Syafruddin Arsyad Tumenggung didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait SKL BLBI. Ia diduga telah menghapus piutang BDNI milik Sjamsul Nursalim kepada petani tambak.
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan surat PKPS kepada Sjamsul, meskipun dia belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak.
Dalam kasus ini, Syafruddin dinilai telah melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jakarta: Terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Syafruddin Arsyad Temenggung dituntut hukuman 15 tahun penjara. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp1 miliar subisder enam bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum pada KPK Haerudin mengatakan, Syafruddin selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum dengan memperkaya orang lain, korporasi atau diri sendiri. Akibatnya negara merugi Rp4,58 triliun atas perbuatannya.
"Menuntut, majelis hakim menyatakan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Jaksa Haerudin saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin, 3 September 2018.
Jaksa mempertimbangkan sejumlah hal dalam menyusun surat tuntutan. Hal yang memberatkan, perbuatan Syafruddin dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintah yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Syafruddin merupakan pelaku yang aktif dan berperan besar dalam kejahatan tersebut.
(Baca juga:
Kredit Macet Petambak Udang Rp4,8 Triliun)
Selain itu, pelaksanaan kejahatan menunjukkan adanya derajat keahilan dan perencanaan terlebih dahulu, perbuatan yang dilakukan oleh Syafruddin juga menimbulkan kerugian negara cukup besar. Serta, ia tidak mengakui secara terus terang dan tidak menyesali perbuatannya.
"Sementara hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum dan berlaku sopan selama di persidangan," lanjut jaksa.
Syafruddin Arsyad Tumenggung didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun terkait SKL BLBI. Ia diduga telah menghapus piutang BDNI milik Sjamsul Nursalim kepada petani tambak.
Syafruddin juga dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala BPPN. Saat itu, Syafruddin menerbitkan surat PKPS kepada Sjamsul, meskipun dia belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI terhadap petambak.
Dalam kasus ini, Syafruddin dinilai telah melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)