Ilustrasi DPR. Foto: Medcom.id
Ilustrasi DPR. Foto: Medcom.id

Pengesahan Rancangan KUHP Diminta Ditunda

Dhika Kusuma Winata • 16 September 2019 19:06
Jakarta: Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menilai Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP) yang tengah dibahas memiliki banyak pasal bermasalah. Mereka khawatir pasal-pasal itu mengekang demokrasi dan merugikan masyarakat.
 
"KUHP memang peninggalan kolonial tapi perubahannya harus mengedepankan kepentingan rakyat. Kami ingin RKUHP ini ditunda dan pembahasannya melibatkan seluruh masyarakat sipil," ujar juru bicara Aliansi Nining Elitos di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 16 September 2019. 
 
Nining menuturkan dalam rancangan beleid muncul pasal-pasal yang dipakai pemerintah kolonial memberangus kritik. Seperti, pasal penghinaan presiden (Pasal 218-220), penghinaan pemerintahan yang sah (Pasal 240-241), dan penghinaan badan umum (Pasal 353-354).

Dia menambahkan Pasal 417 RKUHP tentang tindak pidana bentuk persetubuhan di luar perkawinan yang ditetapkan sebagai bentuk pidana akan mengkriminalisasi ruang privat warga negara. Pasal itu juga dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan dan dianggap melanggengkan perkawinan anak karena dianggap solusi di luar pemidanaan.
 
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani Amri juga menolak RKUHP. Dia menilai undang-undang mengekang insan pers Tanah Air.
 
AJI mencatat ada 10 pasal di RKUHP yang berpotensi mengekang pers. Pertama, pasal penghinaan pada presiden. Kedua, penghinaan pada pemerintah. Kritik pers pada Kepala Negara dan pemerintah berpotensi dipidanakan. 
 
Ketiga, pasal hasutan melawan penguasa. Keempat, pasal penyiaran berita bohong.
 
"Jika undang-undang ini berlaku, pers bisa saja dibilang menyebarkan berita palsu. Penjara juga akan mengancam kita," tutur dia. 
 
Kelima, pasal pemberitaan tidak pasti. Keenam, pasal penghinaan pada pengadilan. Ketujuh, pasal penghinaan agama. Kedelapan, pasal penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara. 
 
Kesembilan, pasal pencemaran nama baik. Terakhir, pasal pencemaran nama baik orang yang sudah meninggal.
 
"Ketika kita mengkritisi orang yang sudah tidak ada, misalnya Presiden Soeharto, kemudian keluarga tidak menerima kemudian itu bisa dikenai pasal pencemaran nama baik orang mati. Aturan ini (RKUHP) disebut untuk merevisi aturan kolonial tetapi isinya juatru lebih kolonial dari kolonial," tegas Asnil. 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan