Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini ada kebocoran anggaran yang sangat besar dalam pengelolaan dana hibah di Provinsi Jawa Timur. Pasalnya, ada sistem ijon untuk pencairan dana itu.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto mengatakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menggelontorkan dana Rp7,8 triliun untuk belanja hibah selama dua tahun. Sistem ijon dipakai untuk memudahkan pencairan dengan pemberian 20 persen dari nilai dana di awal pengajuan.
"Ini sangat menarik, dana yang digelomtorkan Rp7,8 triliun, kalau kita ambil 20 persen untuk fee sistem ijon, kemudian 10 persen sebagai kepala pokmasnya (kelompok masyarakat), tentunya kualitas dari uang itu turunnya tinggal 70 persen," kata Karyoto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 16 Desember 2022.
Karyoto meyakini hanya 70 persen dari Rp7,8 triliun dana hibah yang benar-benar diterima masyarakat. KPK juga meyakini masih ada pihak lain yang menerima, namun, belum terungkap.
"Belum nanti oleh kelompok-kelompok ini apakah ada kebocoran-kebocoran, dan ini sangat menarik," ucap Karyoto.
Sistem ijon ini juga diyakini menyusahkan masyarakat. Apalagi, kata Karyoto, salah satu tersangka pemberi suap untuk mendapatkan dana hibah berprofesi sebagai kepala desa.
"Kemampuan orang-orang ini juga ya agak terbatas, karena di level desa, ini seorang kades, harus menyiapkan uang misalnya 20 persen dari yang diterima," ujar Karyoto.
KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Mereka yakni Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahar Tua P Simandjuntak, staf ahlinya, Rusdi, Kepala Desa Jelgung Abdul Hamid dan Koordinator Lapangan Pokok Masyarakat (Pokmas) Ilham Wahyudi.
Abdul dan Ilham disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara itu Sahat dan Rusdi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) meyakini ada kebocoran anggaran yang sangat besar dalam pengelolaan dana
hibah di Provinsi Jawa Timur. Pasalnya, ada sistem
ijon untuk pencairan dana itu.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto mengatakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menggelontorkan dana Rp7,8 triliun untuk belanja hibah selama dua tahun. Sistem ijon dipakai untuk memudahkan pencairan dengan pemberian 20 persen dari nilai dana di awal pengajuan.
"Ini sangat menarik, dana yang digelomtorkan Rp7,8 triliun, kalau kita ambil 20 persen untuk
fee sistem ijon, kemudian 10 persen sebagai kepala pokmasnya (kelompok masyarakat), tentunya kualitas dari uang itu turunnya tinggal 70 persen," kata Karyoto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 16 Desember 2022.
Karyoto meyakini hanya 70 persen dari Rp7,8 triliun dana hibah yang benar-benar diterima masyarakat. KPK juga meyakini masih ada pihak lain yang menerima, namun, belum terungkap.
"Belum nanti oleh kelompok-kelompok ini apakah ada kebocoran-kebocoran, dan ini sangat menarik," ucap Karyoto.
Sistem ijon ini juga diyakini menyusahkan masyarakat. Apalagi, kata Karyoto, salah satu tersangka pemberi suap untuk mendapatkan dana hibah berprofesi sebagai kepala desa.
"Kemampuan orang-orang ini juga ya agak terbatas, karena di level desa, ini seorang kades, harus menyiapkan uang misalnya 20 persen dari yang diterima," ujar Karyoto.
KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. Mereka yakni Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahar Tua P Simandjuntak, staf ahlinya, Rusdi, Kepala Desa Jelgung Abdul Hamid dan Koordinator Lapangan Pokok Masyarakat (Pokmas) Ilham Wahyudi.
Abdul dan Ilham disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara itu Sahat dan Rusdi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)