Jakarta: Permohonan justice collaborator (JC) mantan Pejabat Pembuat Komitmen (Ppk) Kementerian Sosial (Kemensos), Matheus Joko Santoso, dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, Matheus merupakan terdakwa dan juga saksi mahkota dalam kasus dugaan suap pengadaan bansos covid-19.
"Kalau saksi mahkota itu, karena melihat adanya konflik kepentingan antara yang bersangkutan memerankan sebagai saksi, itu bertentangan dengan kepentingan dia saat memerankan sebagai terdakwa. Ini harus dicermati betul, dalam KUHAP dilarang," kata ahli hukum pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno, saat menjadi saksi ahli dalam di PN Tipikor Jakarta, Senin, 28 Juni 2021.
Dia mengingatkan Majelis Hakim harus secara teliti memperhatikan kesaksian dalam setiap proses persidangan. Hakim tidak bisa sembarang memberikan JC, terlebih kepada terdakwa.
"Harus benar-benar memperhatikan, keterangan yang benar-benar dalam poisisinya dia sebagai saksi dan terdakwa," ujar Basuki.
Baca: Anak Buah Juliari Ajukan Justice Collaborator
Sementara itu, pengacara Juliari Peter Batubara, Maqdir Ismail, mengingatkan jika JC tidak pantas diberikan kepada Matheus. Menurut dia, pemberian JC kepada Matheus akan merusak fungsi dari JC itu sendiri.
"Pemberian status ini akan merusak sistem tawar-menawar yang disyaratkan oleh kedudukan justice collaborator. Tidak akan ada kasus ini, kalau tidak ada tangkap tangan terhadap MJS," ucap Maqdir.
Maqdir menegaskan status JC hanya bisa diberikan kepada orang yang bukan pelaku utama. Matheus diduga kuat pelaku utama dalam kasus ini.
"KPK memberikan status justice collaborator bukan untuk tujuan mengungkapkan kebenaran materiel, tetapi untuk mendapatkan bayaran dari Matheus Joko Santoso berupa kesaksian. Dengan demikian, maka ketika status sebagi justice collaborator disematkan kepada Matheus Joko Santoso maka tindakan ini melanggar hukum," tegas dia.
Jakarta: Permohonan
justice collaborator (JC) mantan Pejabat Pembuat Komitmen (Ppk) Kementerian Sosial (Kemensos), Matheus Joko Santoso, dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, Matheus merupakan terdakwa dan juga saksi mahkota dalam kasus dugaan suap pengadaan
bansos covid-19.
"Kalau saksi mahkota itu, karena melihat adanya konflik kepentingan antara yang bersangkutan memerankan sebagai saksi, itu bertentangan dengan kepentingan dia saat memerankan sebagai terdakwa. Ini harus dicermati betul, dalam KUHAP dilarang," kata ahli hukum pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno, saat menjadi saksi ahli dalam di PN Tipikor Jakarta, Senin, 28 Juni 2021.
Dia mengingatkan Majelis Hakim harus secara teliti memperhatikan kesaksian dalam setiap proses persidangan. Hakim tidak bisa sembarang memberikan JC, terlebih kepada terdakwa.
"Harus benar-benar memperhatikan, keterangan yang benar-benar dalam poisisinya dia sebagai saksi dan terdakwa," ujar Basuki.
Baca:
Anak Buah Juliari Ajukan Justice Collaborator
Sementara itu, pengacara
Juliari Peter Batubara, Maqdir Ismail, mengingatkan jika JC tidak pantas diberikan kepada Matheus. Menurut dia, pemberian JC kepada Matheus akan merusak fungsi dari JC itu sendiri.
"Pemberian status ini akan merusak sistem tawar-menawar yang disyaratkan oleh kedudukan
justice collaborator. Tidak akan ada kasus ini, kalau tidak ada tangkap tangan terhadap MJS," ucap Maqdir.
Maqdir menegaskan status JC hanya bisa diberikan kepada orang yang bukan pelaku utama. Matheus diduga kuat pelaku utama dalam kasus ini.
"KPK memberikan status
justice collaborator bukan untuk tujuan mengungkapkan kebenaran materiel, tetapi untuk mendapatkan bayaran dari Matheus Joko Santoso berupa kesaksian. Dengan demikian, maka ketika status sebagi
justice collaborator disematkan kepada Matheus Joko Santoso maka tindakan ini melanggar hukum," tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)