Jakarta: Pengacara Ismail Bolong, Johannes L Tobing, menantang eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo membuktikan penerimaan suap oleh petinggi Korps Bhayangkara dalam kasus tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim). Johannes tegas membantah tak ada pemberian suap oleh kliennya ke petinggi Polri, termasuk Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto.
"Jadi kalau Ferdy Sambo yang bicara berarti harus Ferdy Sambo yang membuktikan. Kalau kita lawyer ini, siapa dia yang mendalilkan harus dia membuktikan, terus nanti dia kalau bohong gimana, kalau dia prank gimana," kata Johannes saat dikonfirmasi, Jumat, 9 Desember 2022.
Johannes mempersilakan masyarakat menilai sendiri kebenaran yang disampaikan mantan Kadiv Propam Polri itu. Penilaian, kata dia, dapat dilakukan dengan menonton persidangan kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Lihatin saja, kan bisa nilai itu persidangannya asli atau tidak, benar atau tidak, bohong atau tidak," kata dia.
Johannes menuturkan kliennya ditetapkan tersangka hanya terkait izin pertambangan dan izin distribusi. Dia ogah menanggapi rumor-rumor yang beredar soal suap terhadap sejumlah petinggi Polri.
"Kita kan penasihat hukum, harus membawa bukti. Kalau katanya-katanya terus bagaimana cara membuktikan itu kalau katanya-katanya," ujar Johannes.
Ismail Bolong ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya yang masih belum disebutkan identitasnya. Kedua orang itu ialah RP, dan BP. Penetapan tersangka berbekal laporan polisi (LP) nomor: LP/A/0099/II/2022/SPKT.Dittipidter/Bareskrim Polri, tanggal 23 Februari 2022, terkait dugaan penambangan ilegal yang berlangsung sejak awal November 2021.
Tersangka BP berperan sebagai penambang batu bara tanpa izin atau ilegal. Sedangkan, tersangka RP sebagai kuasa direktur PT Energindo Mitra Pratama (EMP). Ia berperan mengatur operasional batu bara dari mulai kegiatan penambangan, pengangkutan dan penguatan dalam rangka dijual dengan atas nama PT EMP.
Sementara itu, tersangka Ismail Bolong, mantan anggota Satuan Intelkam Polresta Samarinda berperan mengatur rangkaian kegiatan penambangan ilegal pada lingkungan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) perusahaan lain. Ismail juga menjabat sebagai komisaris PT EMP yang tidak memiliki izin usaha penambangan untuk melakukan kegiatan penambangan.
Penyitaan Barang Bukti
Polisi menyita sejumlah barang bukti dalam kasus ini. Antara lain 36 dumptruck yang digunakan untuk mengangkut batu bara hasil penambangan ilegal, tiga unit handphone berbagai merk, berikut sim car, tiga buah buku tabungan dari berbagai bank.
Tumpukan batu bara hasil penambangan Ilegal di Tersus dan di Lokasi PKP2B PT Santan Batubara (berada di Kalimantan Timur). Dua ekskavator yang digunakan kegiatan penambangan ilegal, dan dua bundel rekening koran.
Sangkaan Pasal
Ketiga tersangka telah ditahan. Mereka dijerat Pasal 158 dan Pasal 161 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kemudian, Pasal 55 ayat 1 KUHP. Dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Berikut penjabaran ketiga pasal tersebut:
Pasal 158
Pasal 158 menyatakan setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK dan/atau setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batu bara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin.
Pasal 161
Pasal 161 menyebutkan setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin. Kedua pasal mengatur ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Pasal 55
Lalu, Pasal 55 ayat (1) KUHPidana mengatur soal mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Kemudian, mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Jakarta: Pengacara
Ismail Bolong, Johannes L Tobing, menantang eks Kadiv Propam Polri
Ferdy Sambo membuktikan penerimaan suap oleh petinggi
Korps Bhayangkara dalam kasus tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim). Johannes tegas membantah tak ada pemberian suap oleh kliennya ke petinggi Polri, termasuk Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto.
"Jadi kalau Ferdy Sambo yang bicara berarti harus Ferdy Sambo yang membuktikan. Kalau kita lawyer ini, siapa dia yang mendalilkan harus dia membuktikan, terus nanti dia kalau bohong gimana, kalau dia prank gimana," kata Johannes saat dikonfirmasi, Jumat, 9 Desember 2022.
Johannes mempersilakan masyarakat menilai sendiri kebenaran yang disampaikan mantan Kadiv Propam Polri itu. Penilaian, kata dia, dapat dilakukan dengan menonton persidangan kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Lihatin saja, kan bisa nilai itu persidangannya asli atau tidak, benar atau tidak, bohong atau tidak," kata dia.
Johannes menuturkan kliennya ditetapkan tersangka hanya terkait izin pertambangan dan izin distribusi. Dia ogah menanggapi rumor-rumor yang beredar soal suap terhadap sejumlah petinggi Polri.
"Kita kan penasihat hukum, harus membawa bukti. Kalau katanya-katanya terus bagaimana cara membuktikan itu kalau katanya-katanya," ujar Johannes.
Ismail Bolong ditetapkan sebagai tersangka bersama dua orang lainnya yang masih belum disebutkan identitasnya. Kedua orang itu ialah RP, dan BP. Penetapan tersangka berbekal laporan polisi (LP) nomor: LP/A/0099/II/2022/SPKT.Dittipidter/Bareskrim Polri, tanggal 23 Februari 2022, terkait dugaan penambangan ilegal yang berlangsung sejak awal November 2021.
Tersangka BP berperan sebagai penambang batu bara tanpa izin atau ilegal. Sedangkan, tersangka RP sebagai kuasa direktur PT Energindo Mitra Pratama (EMP). Ia berperan mengatur operasional batu bara dari mulai kegiatan penambangan, pengangkutan dan penguatan dalam rangka dijual dengan atas nama PT EMP.
Sementara itu, tersangka Ismail Bolong, mantan anggota Satuan Intelkam Polresta Samarinda berperan mengatur rangkaian kegiatan penambangan ilegal pada lingkungan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) perusahaan lain. Ismail juga menjabat sebagai komisaris PT EMP yang tidak memiliki izin usaha penambangan untuk melakukan kegiatan penambangan.
Penyitaan Barang Bukti
Polisi menyita sejumlah barang bukti dalam kasus ini. Antara lain 36 dumptruck yang digunakan untuk mengangkut batu bara hasil penambangan ilegal, tiga unit handphone berbagai merk, berikut sim car, tiga buah buku tabungan dari berbagai bank.
Tumpukan batu bara hasil penambangan Ilegal di Tersus dan di Lokasi PKP2B PT Santan Batubara (berada di Kalimantan Timur). Dua ekskavator yang digunakan kegiatan penambangan ilegal, dan dua bundel rekening koran.
Sangkaan Pasal
Ketiga tersangka telah ditahan. Mereka dijerat Pasal 158 dan Pasal 161 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kemudian, Pasal 55 ayat 1 KUHP. Dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Berikut penjabaran ketiga pasal tersebut:
Pasal 158
Pasal 158 menyatakan setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK dan/atau setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batu bara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin.
Pasal 161
Pasal 161 menyebutkan setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin. Kedua pasal mengatur ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Pasal 55
Lalu, Pasal 55 ayat (1) KUHPidana mengatur soal mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Kemudian, mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)