Jakarta: Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Richard Joost (RJ) Lino, mengaku tak ambil pusing dengan kasus dugaan korupsi yang menjeratnya. Dia merupakan terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan dan pemeliharaan tiga unit quayside container crane (QCC) di PT Pelindo II.
"Semula saya enggak ambil pusing dengan kasus ini, toh banyak teman-teman saya yang percaya saya dan tidak percaya saya koruptor. Semua menyampaikan ke saya, 'Lino ini masalah politik'," kata RJ Lino saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 18 November 2021.
Dia mengaku kaget ketika cucunya menanyakan soal koruptor. Hal itu menjadi miris karena RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
RJ Lino juga menyinggung penahanan setelah lima tahun pemeriksaan terakhir oleh penyidik KPK. Dia mengaku diperiksa pada Februari 2019 ketika telah berstatus tersangka tetapi tidak ditahan.
"Menunggu lebih dari lima tahun kemudian 2021 diminta datang dan langsung ditahan," ujar RJ Lino.
RJ Lino mengeklaim tidak ada kerugian negara dalam pengadaan QCC. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai tidak dapat menghitung kerugian negara atas pembangunan tiga unit QCC yang pasti.
"Karena bukti terakhir Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co Ltd. (HDHM) atas pembangunan dan pengiriman tidak diperoleh," ucap RJ Lino.
Baca: Kasus RJ Lino, Perusahaan Tiongkok Dituntut Bayar Rp28 M
HDHM merupakan perusahaan Tiongkok yang akan menggarap proyek QCC. Hitungan kerugian negara oleh KPK juga diklaim tidak ada.
"Karena kontrak yang disepakati antara Pelindo II dan HDHM adalah kontrak tidak sah, jumlah yang pas tidak tetap, dan dimungkinkan penyesuaian harga sehingga jelas kerugian negara tiga unit QCC itu tidak ada," kata RJ Lino.
RJ Lino dituntut enam tahun penjara serta pidana denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Dia dianggap menguntungkan diri dan korporasi serta menyalahgunakan kewenangannya yang mengakibatkan kerugian negara.
Korporasi yang diuntungkan RJ Lino adalah HDHM. Perusahaan itu ditunjuk untuk mengerjakan proyek QCC tetapi tidak sesuai dengan aturan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Perbuatan RJ Lino dianggap melanggar Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Jakarta: Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II,
Richard Joost (RJ) Lino, mengaku tak ambil pusing dengan kasus dugaan korupsi yang menjeratnya. Dia merupakan terdakwa kasus
korupsi proyek pengadaan dan pemeliharaan tiga unit quayside container crane (QCC) di
PT Pelindo II.
"Semula saya enggak ambil pusing dengan kasus ini, toh banyak teman-teman saya yang percaya saya dan tidak percaya saya koruptor. Semua menyampaikan ke saya, 'Lino ini masalah politik'," kata RJ Lino saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 18 November 2021.
Dia mengaku kaget ketika cucunya menanyakan soal koruptor. Hal itu menjadi miris karena RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
RJ Lino juga menyinggung penahanan setelah lima tahun pemeriksaan terakhir oleh penyidik KPK. Dia mengaku diperiksa pada Februari 2019 ketika telah berstatus tersangka tetapi tidak ditahan.
"Menunggu lebih dari lima tahun kemudian 2021 diminta datang dan langsung ditahan," ujar RJ Lino.
RJ Lino mengeklaim tidak ada kerugian negara dalam pengadaan QCC. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai tidak dapat menghitung kerugian negara atas pembangunan tiga unit QCC yang pasti.
"Karena bukti terakhir Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co Ltd. (HDHM) atas pembangunan dan pengiriman tidak diperoleh," ucap RJ Lino.
Baca:
Kasus RJ Lino, Perusahaan Tiongkok Dituntut Bayar Rp28 M
HDHM merupakan perusahaan Tiongkok yang akan menggarap proyek QCC. Hitungan kerugian negara oleh KPK juga diklaim tidak ada.
"Karena kontrak yang disepakati antara Pelindo II dan HDHM adalah kontrak tidak sah, jumlah yang pas tidak tetap, dan dimungkinkan penyesuaian harga sehingga jelas kerugian negara tiga unit QCC itu tidak ada," kata RJ Lino.
RJ Lino dituntut enam tahun penjara serta pidana denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Dia dianggap menguntungkan diri dan korporasi serta menyalahgunakan kewenangannya yang mengakibatkan kerugian negara.
Korporasi yang diuntungkan RJ Lino adalah HDHM. Perusahaan itu ditunjuk untuk mengerjakan proyek QCC tetapi tidak sesuai dengan aturan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Perbuatan RJ Lino dianggap melanggar Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)